Penindasan bukan bagian dari fenomena baru dalam sejarah umat manusia. Penindasan terjadi sudah berabad-abad yang lalu, dan akan tetap terus ada jika manusia masih menjadi penghuni bumi. Meskipun berbagai macam upaya yang terealisasi untuk melawan, mengakhiri, atau mengurangi praktik penindasan, kenyataannya bentuk-bentuk penindasan masih dirasakan oleh manusia hingga dewasa ini. Mengapa demikian? Karena sistem politik, sosial, ekonomi, dan budaya justru mendorong bahkan menerapkan praktik-praktik yang menindas tanpa sadar ataupun tidak.
Saya akan mengawali pada sistem politik, sistem politik dari masa pra-revolusi perancis, pasca revolusi prancis, hingga saat ini sistem politik menjadi bagian paling penting pada penerapan praktik penindasan yang dilakukan oleh elit-elit birokrat pada masyarakat. Kebijakan-kebijakan politik dibentuk atas kesepakatan mereka-mereka saja tanpa melibatkan masyarakat yang lebih mengetahui apa yang dibutuhkan oleh masyarakat untuk bertahan hidup, biasanya elit-elit politik membentuk sebuah kebijakan atas kepentingan mereka saja (sungguh licik bukan). Dengan demikian, metode yang dilakukan oleh elit-elit politik merupakan metode antidialogis. Saya akan meminjam istilah Paulo Freire yang ia gagas dalam bukunya “Pedagogi Of The Oppressed” yaitu, antidialogis. Freire menjelaskan bahwa metode antidialogis ini diciptakan oleh kaum elit, dan para politisi untuk membentuk sebuah sistem yang justru menyuburkan penindasan pada masyarakat. Saat ini, secara kontekstual baik di Indonesia bahkan politik dunia, masih banyak kebijakan-kebijakan yang justru merugikan masyarakat.
Sistem sosial, budaya, dan ekonomi juga menjadi alasan kuat dalam praktik penindasan. Karena dengan sistem sosial, budaya, dan ekonomi dapat menciptakan serta memelihara juga memperkuat ketidaksetaraan dan ketidakadilan dalam realitas sosial yang kita hadapi sekarang. Seperti halnya budaya patriarki, umumnya masih banyak masyarakat yang menganggap bahwa perempuan hakikatnya sangat jauh berbeda dengan laki-laki. Tanpa kita sadari juga bahwa neo-kolonialisme menjadi elemen yang juga mendorong penuh praktik penindasan pada masyarakat melalui dominasi ekonomi, politik, dan budaya yang membuat negara-negara berkembang tetap bergantung pada negara-negara maju. Lalu, rasisme dan diskriminasi juga menjadi salah satu hal yang memperkuat kedudukan penindasan.
Karakter masyarakat Indonesia dan pemerintah menjadi alasan yang kuat bagi saya untuk menulis opini ini, mengapa? Karena karakter masyarakat Indonesia dan pemerintah Indonesia akan menghargai seseorang yang mempunyai power dari segi ekonomi, dan ras yang mayoritas. Mungkin kalimat “Lu punya uang lu punya kuasa” menjadi kalimat yang lucu, menjadi bahan komedi dan viral di berbagai macam platform media beberapa tahun yang lalu, namun jika dikaji kalimat itu sangat mencerminkan karakter-karakter masyarakat dan pemerintah Indonesia. Yang menjadi acuannya hanya uang, uang, dan uang. Bodohnya, masyarakat hanya menaruh harapan dan kepercayaannya pada mereka yang ber-uang dari pada mereka yang mempunyai kualitas intelektual untuk menjadi pemimpin atau orang terpercaya bagi masyarakat.
Mungkin, sejauh ini masyarakat tidak sadar bahwa praktik-praktik seperti yang saya tulis di atas menjadi bagian dari tumbuhnya penindasan yang baru, dan masyarakat yang menjadi sasaran untuk ditindas oleh mereka yang berkuasa dengan uang, bukan ide atau gagasan. Saya mengutip istilah dari Freire untuk kedua kalinya, ia mengatakan bahwa sistem pendidikan juga menjadi alat bagi kelompok elit serta politisi untuk menindas masyarakat-masyarakat. Mengapa? Karena pendidikan menjadi perihal menabung dan ditabung.
Guru sebagai penabung, murid sebagai wadah untuk ditabung, Freire memberi istilah banking education. Sistem pendidikan ini justru menghambat murid untuk berpikir kreatif, kritis, dan berani menyampaikan gagasan dengan bebas. Lalu, apa yang kita harapkan sekarang jika sistem pendidikan juga menjadi halangan untuk berpikir bebas dan kreatif. Apakah, dengan sistem seperti itu dapat melahirkan generasi yang mampu menyampaikan ide dan gagasan serta berani untuk berpikir kritis terhadap realitas sosial yang sampai saat ini diterapkan oleh mereka-mereka yang hanya memikirkan kepentingan-kepentingannya saja.
Kali ini saya akan meminjam gagasan Plato, ia mengatakan bahwa pemimpin yang kompeten untuk memimpin adalah seorang filsuf. Karena, seorang filsuf merupakan seseorang yang bijaksana dan mampu menciptakan kebajikan bagi seluruh umat manusia. Lalu, saya akan meminjam gagasan Ibnu Rusyd, ia mengatakan bahwa pemimpin yang bijaksana harus paham dengan ilmu agama, agar dapat menciptakan negara yang merdeka, persamaan, dan keberagaman. Bagi saya, untuk saat ini walaupun ada pemimpin dengan dua karakter yang dijelaskan oleh Plato maupun Ibnu Rusyd, kita akan tetap terus hidup di atas penindasan yang dilakukan oleh mereka yang berkuasa. Dua karakter tersebut tidak akan bertahan pada diri seseorang jika sudah masuk dalam “Septictank” politik, dan mereka akan berakhir pada kemunafikan.
Lalu apa solusinya, apakah harus berdialog dengan masyarakat, apakah kita harus menggunakan dialektika Hegel, yang meliputi tesis, antitesis, dan sintesis, atau cara berdialog Socrates dengan masyarakat Yunani kala itu? Sudahlah, saya rasa ini akan sia-sia. Kembali lagi, apapun metode yang digunakan, elit-elit itu akan menjadi manusia-manusia jahat, manusia-manusia munafik, manusia-manusia biadab, manusia-manusia yang tidak berperasaan yang menciptakan terus-menerus praktik penindasan. Yang bodoh, akan dibodoh-bodohkan, yang miskin akan semakin miskin, dan janji-janji politik mereka hanya kiasan kata-kata yang dijadikan kalimat, bukan dijadikan sebuah pegangan kuat untuk arah yang lebih baik lagi.
Saya bukan pesimis perihal ini, tetapi beginilah yang kita alami, dan rasakan dari dulu hingga saat ini. Sehingga saya menelaah bahwa sebagian manusia lahir untuk menjadi penindas yang tidak akan ada akhirnya, beginilah cara kerja dunia.
0 Komentar