Deforestasi merupakan kondisi luas hutan yang mengalami penurunan akibat adanya konvensi hutan lahan untuk pemukiman, pertanian, infrastruktur, perkebunan, dan pertambangan. Perubahan lahan hutan menjadi lahan non hutan dapat menyebabkan pemanasan global, longsor, banjir, dan bencana alam lainnya karena akibat dari kebakaran hutan, dan penebangan kayu yang berlebihan. Deforestasi sangat berkaitan dengan penebangan atau pembalakan liar yang dapat mengancam seluruh makhluk hidup, baik hewan maupun manusia.
Kota Bima dan Kabupaten Bima, yang terletak di Provinsi Nusa Tenggara Barat, memiliki kekayaan alam berupa hutan yang penting bagi ekosistem lokal, dan masyarakat sekitarnya. Namun, alih-alih untuk menjaga kekayaan alamnya, wilayah sedang menghadapi ancaman deforestasi yang sangat signifikan. Perubahan lahan hutan di Bima telah berdampak pada berbagai aspek, seperti, lingkungan, ekonomi, dan kehidupan masyarakat, terutama yang bergantung pada hasil hutan yang ada di Bima.
Penyebab Deforestasi Hutan di Kota dan Kabupaten Bima
Sekitar 60 persen hutan di Kota Bima mengalami kerusakan, kerusakan tersebut merata di wilayah pegunungan. Penyebab dari kerusakan tersebut karena adanya penebangan pohon secara liar, dan alih fungsi hutan menjadi lahan pertanian. Perihal ini disampaikan langsung oleh kepala DLH Kota Bima Alwi Yasin kepada wartawan yang mewawancarainya pada tahun 2021 silam. (Islamuddin, 2024)
Permasalahan ini dipicu oleh masyarakat yang memanfaatkan hutan untuk menjadikan lahan jagung, yang saat ini merupakan komoditi dengan hasil penjualan yang sangat baik. Permasalahan ini terjadi bukan karena masyarakat saja, namun dipicu juga oleh program pemerintah Provinsi, yaitu (PIJAR) program sapi, jagung, dan rumput laut. Dari program tersebut menjadi dasar untuk alih fungsi lahan hutan yang ada di Kabupaten Bima dan Kota Bima yang sampai saat ini masih terealisasi. Dengan adanya program ini secara langsung memicu masyarakat untuk mengembangkan komoditas jagung lebih besar lagi, sehingga semakin banyak alih fungsi lahan hutan yang dilakukan oleh masyarakat.[2]
Deforestasi hutan menjadi lahan non hutan di Kota dan Kabupaten Bima menimbulkan berbagai macam dampak seperti, banjir tahunan, kualitas oksigen menurun, erosi semakin besar, kandungan lumpur dalam air sungai semakin tinggi, terganggunya siklus air, dan kematian ekosistem. Pada tanggal 4-6 April 2023 curah hujan hanya mencapai 50-70 mm saja, dan terbukti dapat mengakibatkan banjir besar di wilayah Bima, Dompu, dan Kabupaten Sumbawa, antaranya Kabupaten Sumbawa 192 Kepala Keluarga atau 989 jiwa, Dompu 4.166 Kepala Keluarga atau 16.664 jiwa, Bima 2.989 Kepala Keluarga atau 8.305 jiwa, dan Kota Bima 1.208 Kepala Keluarga atau 4. 351 jiwa. Sedangkan kerusakan sebanyak 114 rumah rusak ringan, 37 rumah rusak sedang, 45 rumah rusak berat, dua sekolah di Kota Bima, sawah 204 hektare, dan tambak ikan serta garam 53,3 hektare.[3]
EkoFilosofis (hubungan antara manusia, spiritual dan lingkungan)
Perspektif Seyyed Hossein Nasr digunakan untuk melihat bahwa manusia, spiritual dan lingkungan memiliki hubungan yang saling mempengaruhi satu sama lain. Perspektif Seyyed Hossein Nasr dalam pandangannya terhadap krisis lingkungan dipengaruhi oleh terkikisnya pemahaman spiritualitas oleh manusia dan pandangan sekuler yang memisahkan antara aspek agama dan keduniaan. Padahal jika kita melihat lebih dekat aspek lingkungan di dalam agama telah dijabarkan secara kompleks.
Agama hadir sebagai pedoman untuk mengatur keseimbangan antara manusia, hewan dan lingkungan. Jika menarik pada kondisi di era modern sekarang, manusia sudah tidak menjadikan alam sebagai manifestasi dari tuhan yang harus dijaga dan dilindungi. Alam dan manusia saat ini mengalami pergeseran karena rusaknya kesimbangan dan siklus kehidupan yang didorong oleh kepentingan. Pandangan manusia yang lebih modern menjadikan lingkungan sebagai bahan untuk memperoleh keuntungan sebesar-besarnya. Pemanfaatan teknologi modern dimanfaatkan untuk memperoleh keuntungan yang didasarkan pada ketamakan dan keserakahan manusia. Hal ini mengakibatkan punahnya spesies, pemanasan global, kebakaran dan pencemaran lingkungan.
Menurut Seyyed Hossein Nasr, pemahaman dan pengetahuan alam serta kekosongan spiritual menjadi faktor utama dalam krisis lingkungan yang terjadi saat ini. Selain itu pandangan sekuler yang didorong oleh kepentingan duniawi menjadikan terkikisnya aspek agama di dalam kehidupan. Dominasi manusia terhadap alam dipahami sebagai sebuah keharusan untuk dimanfaatkan dan dinikmati atas dasar ketamakan maupun kepentingan ekonomi. Dominasi manusia di terhadap alam memunculkan berbagai dampak mulai dari krisis udara, ekstraksi sumber daya alam dan krisis lingkungan. Hal ini telah disinyalir di dalam QS. Ar-rum: 30 ayat 41. Dimana Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman yang artinya “Telah nampak kerusakan di daratan dan lautan disebabkan karena perilaku tangan manusia, supaya Allah merasakan kepada mereka sebagai dari (dampak) perbuatan mereka, agar mereka dapat kembali kepada jalan yang benar.”[4]
Ayat di atas menjelaskan bahwa kerusakan dan krisis lingkungan disebabkan akibat dari perbuatan dan aktivitas manusia yang tamak tanpa mau memperhatikan keharmonisan dan keseimbangan lingkungan yang berkelanjutan. Selain itu juga krisis lingkungan didasarkan karena minimnya pemahaman agama oleh sebagian manusia.
Perspektif Pekerjaan Sosial
Manusia dan hutan merupakan dua aspek yang saling mempengaruhi satu sama lain. Jika salah satu bermasalah, maka akan memberikan dampak besar bagi keberlangsungan kedua aspek tersebut. Pekerja sosial dalam kasus ini melihat bahwa permasalahan hutan bukan hanya berkaitan dengan isu lingkungan, deforestasi, pembabatan liar, akan tetapi masalah ini muncul karena disebabkan oleh permasalahan sosial dan ekonomi. Keinginan dan usaha manusia untuk memanfaatkan hutan dengan cara yang buruk merupakan representasi dari krisis ekonomi dan lingkungan yang tidak terjamin.
Sebagai profesi yang bergerak di bidang kemanusiaan, pekerja sosial hadir memberikan intervensi kepada masyarakat untuk menumbuhkan kesadaran dalam menjaga dan melindungi hutan dengan baik. Karena hutan bagian paling penting dalam kehidupan dan anugrah terindah yang diberikan tuhan untuk manusia. Dari uraian di atas, ada beberapa intervensi atau peran yang dapat dilakukan oleh pekerja sosial diantaranya, pertama, sosialisasi terhadap pengelolaan dan manajemen lingkungan yang baik dan berkelanjutan, kedua, menumbuhkan kepedulian dan kesadaran lingkungan, ketiga, peran sebagai broker, pekerja sosial berperan sebagai penghubung antara masyarakat dan pemerintah terkait dengan konflik akibat permasalahan hutan yang tidak berkelanjutan, keempat, peran dalam merumuskan kebijakan, pekerja sosial terlibat dalam merumuskan kebijakan atau aturan yang berpihak kepada masyarakat dan untuk menjaga kelestarian lingkungan.
Gerakan-Gerakan Menjaga Hutan di Kota dan Kabupaten Bima
Ada beberapa gerakan di Kota dan Kabupaten Bima untuk menjaga kelestarian hutan, antara lain; gerakan yang dilakukan oleh Bupati Bima Hj Indah Damayanti Putri, memberikan perintah untuk melakukan penghijauan di salah satu hutan yang ada di Kabupaten Bima. Bupati menginginkan penghijauan bukan hanya sekedar menanam pohon, namun memastikan pohon yang ditanam tumbuh, dan dijaga agar bermanfaat bagi masyarakat banyak. Hal yang sama dilakukan oleh pemerintah Kota Bima untuk melakukan gerakan penghijauan agar dapat mencegah terjadinya bencana alam seperti banjir dan longsor yang setiap tahun dialami oleh masyarakat Kota Bima.
Pemerintah Provinsi juga tidak tinggal diam dalam merealisasikan penghijauan dengan gerakan penanaman pohon mangrove yang dipimpin langsung oleh Wakil Gubernur Nusa Tenggara Barat Hj. Sitti Rohmi Djalilah. Selain gerakan-gerakan dari pemerintah, komunitas-komunitas yang ada di Kota maupun Kabupaten Bima juga ikut serta untuk menerapkan dan merealisasikan program penghijauan dengan penanaman bibit-bibit pohon di beberapa wilayah, seperti, Jatibaru Kota Bima, Gunung Danatraha Kota Bima, hutan-hutan di wilayah Sape Kabupaten Bima, dan lain-lain.
Gerakan-gerakan di atas harus didukung oleh dua perspektif yaitu eko filosofis dan perspektif pekerjaan sosial. Dengan menggabungkan dua perspektif tersebut, masyarakat akan sadar untuk tetap menjaga hutan agar tidak terjadinya bencana alam. Perspektif eko filosofis mendorong masyarakat untuk dapat memahami keterkaitan antara manusia, dan alam dalam pandangan agama serta teologi. Sedangkan dalam perspektif pekerjaan sosial masyarakat diberikan edukasi untuk dapat memahami dampak dari deforestasi hutan, mengintervensi antara masyarakat dengan pemerintah untuk bekerja sama dalam mengatasi eksploitasi alam, dan mengadvokasi agar dapat merubah kebijakan yang mendukung untuk pemanfaatan hutan secara berkelanjutan.
Bencana alam bukan hanya karena takdir Tuhan, namun bencana alam juga terjadi akibat keserakahan manusia untuk tetap bertahan hidup dengan cara yang salah, seperti eksploitasi pada alam. Manusia sadar akan perlakuannya ini berdampak pada bahaya-bahaya besar, mulai dari kekeringan, bumi yang semakin panas, berkurangnya air bersih, banjir, longsor, dan masih banyak lagi bencana alam lainnya. Namun, alih-alih untuk menjaga hutan agar tetap hijau, kesadaran manusia akan hal itu menjadi hasratnya untuk tetap melakukan kesalahan yang sama, demi menjaga kestabilan ekonomi bangsa, bahkan dunia. Bagi kami sebagai penulis, masalah seperti ini sudah saatnya anak muda untuk berani menyampaikan apa yang seharusnya disampaikan, dan anak muda sudah saatnya untuk ikut andil dalam menyuarakan isu-isu lingkungan demi tercapainya lingkungan yang hijau dan terjaga dari tangan-tangan jahat.
Referensi
[1] Islamuddin, “Kerusakan Hutan di Kota Bima Capai 60 Persen - Lombok Post,” Kerusakan Hutan di Kota Bima Capai 60 Persen - Lombok Post, accessed November 24, 2024, https://lombokpost.jawapos.com/bima-dompu/1502777375/kerusakan-hutan-di-kota-bima-capai-60-persen
[2] “Alih Fungsi Kawasan Hutan Dan Dampaknya Terhadap Bencana Banjir Yang Ada Di Kabupaten Bima | Agrienvi: Jurnal Ilmu Pertanian,” accessed November 24, 2024, https://e-journal.upr.ac.id/index.php/aev/article/view/5104
[3] antaranews.com, “Kerusakan hutan dan hilangnya kawasan resapan picu banjir NTB,” Antara News, April 8, 2023, https://www.antaranews.com/berita/3478362/kerusakan-hutan-dan-hilangnya-kawasan-resapan-picu-banjir-ntb
[4] Agung Pratama Dharma dan Saldan Manufa. “Seyyed Hossein Nasr: Krisis Islam Atas Sekularism Lingkungan”. Jurnal Pemikiran dan Hukum Islam 10, no. 1 (2024): 65-67
*Penulis adalah mahasiswa Pascasarjana UIN SUNAN KALIJAGA, Yogyakarta, Jurusan Interdiciplinary Islamic Studies, Konsentrasi Social Work
0 Komentar