HUBUNGAN ANTARA AGAMA DAN FILSAFA

Filsafat


Pendahuluan

Ketika membahas hubungan antara filsafat dan agama, menarik untuk menelusuri bagaimana menemukan titik temu antara keduanya. Alasannya adalah, meskipun agama dan filsafat berangkat dari titik pijakan yang berbeda agama didasarkan pada keyakinan, sementara filsafat dimulai dari keraguan dan pertanyaan keduanya memiliki tujuan yang sama, yaitu mencari kebenaran. Keraguan dan pertanyaan yang menjadi ciri khas filsafat tampak berlawanan dengan keyakinan agama, namun kedua pendekatan ini berfungsi sebagai alat untuk mencapai pemahaman yang lebih dalam tentang kebenaran. Perbedaan landasan inilah yang menyebabkan perkembangan filsafat dan agama sering kali berjalan secara terpisah dan tidak saling berinteraksi dalam pemikiran modern umat Islam. Namun, baik dalam acuan normatif Islam, seperti al-Quran, maupun dalam beberapa episode sejarah klasik umat Islam, terdapat indikasi bahwa situasinya berbeda dari kecenderungan tersebut.

 

Defenisi Agama dan Filsafat

 

Agama adalah jalur yang dipilih seseorang untuk mencapai keselamatan dalam hidup. Keyakinan terhadap keberadaan kekuatan tertinggi yang mengatur kehidupan adalah sesuatu yang seharusnya dipercayai oleh manusia. Segala sesuatu yang "ada" pasti memiliki pencipta, dan pencipta tersebut memiliki kedudukan yang lebih tinggi dari ciptaannya. Beragama harus dimulai dengan iman kepada Tuhan, yang berarti meyakini keberadaan dan sifat-sifat-Nya.

 

Banyak ahli telah membahas hakikat agama. Sidi Ghazalba, misalnya, mendefinisikan agama sebagai hubungan manusia dengan yang maha kudus, yang diekspresikan melalui ritus, kultus, dan sikap hidup berdasarkan doktrin tertentu. Sukardji mengutip Alfred Whitehead, seorang orientalis Barat, yang mendeskripsikan agama (religie) sebagai sistem kebenaran umum yang mampu mengubah watak manusia jika benar-benar diterapkan. Pendapat ini menunjukkan bahwa kebenaran universal adalah tanda kemahakuasaan Tuhan. A.M. Saefuddin menganggap agama sebagai kebutuhan paling esensial manusia yang bersifat universal. Ia menyatakan bahwa agama adalah kesadaran spiritual, yang mencakup pengakuan adanya kenyataan di luar yang tampak, di mana manusia selalu mengharapkan belas kasih, bimbingan, dan belaian Tuhan, sebuah kenyataan ontologis yang diakui bahkan oleh orang yang komunis sekalipun.

 

Dalam bukunya, Amsal Bakhtiar mengutip pendapat Max Muller yang menyatakan bahwa definisi agama yang lengkap belum tercapai karena penelitian tentang agama masih terus dilakukan, dan para ahli masih menyelidiki asal-usul agama. Jadi, definisi yang pasti dan lengkap tentang agama belum terealisasi. Meskipun Max Muller mengatakan bahwa definisi agama belum lengkap, beberapa unsur pokok dalam agama telah terungkap dari definisi- definisi yang ada, yaitu masalah yang gaib. Adanya hubungan dengan kekuatan gaib tersebut memunculkan respons emosional dari manusia, baik dalam bentuk rasa takut, perasaan cinta, maupun adanya hal-hal yang dianggap suci, seperti kitab suci atau tempat suci.


Kata "agama" dalam bahasa Barat disebut sebagai "religie" atau "religion." Sementara itu, dalam bahasa Arab dan bahasa-bahasa lain yang menggunakan bahasa Arab, istilahnya adalah "ad-dien." Di kalangan pemeluk agama Islam yang berbahasa Arab, istilah "agama" juga dikenal sebagai "millah" dan "mazhab." Secara etimologi, kata agama berasal dari bahasa Sansekerta, yang terdiri dari kata "a" yang berarti tidak dan "gam" yang berarti pergi. Oleh karena itu, "agama" dapat diartikan sebagai sesuatu yang tidak pergi, tetap di tempat, langgeng, dan diwariskan secara terus-menerus dari generasi ke generasi. Selain itu, dalam pengertian umum, kata "agama" sering diuraikan sebagai "a" yang berarti tidak dan "gama" yang berarti kacau, yang mengisyaratkan bahwa seseorang yang memeluk agama dengan sungguh-sungguh akan hidupnya tidak kacau.

 

Dengan demikian, agama berarti tidak kacau. Berdasarkan definisi terminologi, agama adalah sistem keyakinan terhadap keberadaan Tuhan yang mematuhi aturan-aturan untuk mencapai kebahagiaan hidup di dunia dan akhirat. Agama adalah lingkaran metafisik yang mendalam, berpusat pada Tuhan, dan aspek metafisik ini tidak bisa diabaikan dalam agama; tanpa itu, agama akan menjadi sekadar fantasi dan khayalan. Penulis, sebagai individu yang sangat religius, menganggap bahwa persoalan-persoalan terkait kompleksitas agama sangat penting dalam kehidupan.

 

Sedangkan Kata "filsafat" berasal dari bahasa Yunani, yaitu "philosophia," yang terdiri dari "philein" yang berarti cinta atau mencintai, dan "sophia" yang berarti kebijaksanaan atau hikmat. Jadi, filsafat dapat diartikan sebagai "cinta akan kebijaksanaan." Cinta di sini berarti hasrat yang besar atau keinginan yang mendalam. Kebijaksanaan merujuk pada kebenaran sejati atau kebenaran yang sesungguhnya. Dengan demikian, filsafat berarti hasrat atau keinginan yang tulus untuk memahami kebenaran sejati. Filsafat, dalam bahasa Arab dikenal dengan dua istilah, yaitu "falsafah" dan "al-hikmah," secara terminologis merujuk pada cara berpikir yang radikal dan menyeluruh. Ini adalah metode berpikir yang mengeksplorasi dan mengkaji sesuatu secara mendalam dan komprehensif.

 

Definisi lain menyebutkan bahwa filsafat adalah sistem kebenaran tentang segala sesuatu yang dipersoalkan, hasil dari pemikiran yang radikal, sistematis, dan universal. Filsafat adalah ilmu yang berusaha menyelidiki hakikat segala sesuatu untuk memperoleh kebenaran. Usahanya membawa pada kesimpulan universal dari kenyataan partikular atau khusus, dari hal yang paling sederhana hingga yang paling kompleks. Filsafat mencakup pertanyaan tentang makna, kebenaran, dan hubungan logis antara ide-ide dasar (keyakinan, asumsi, dan konsep) yang tidak dapat dipecahkan oleh ilmu empiris.

 

Melihat kepada (Suaedi, 2016), filosof Immanuel Kant mendefinisikan filsafat sebagai ilmu pokok dan pangkal daripada seluruh pengetahuan yang terangkum padanya empat persoalan:

 

1.     Apa yang dapat diketahui? dijawab dengan metafisika.

2.     Apa yang boleh dikerjakan? Dijawab dengan etika.

3.     Apa yang dinamakan manusia? Dijawab dengan antropologi.

4.     Sampai dimanakah harapan? Dijawab dengan agama.

 

Secara praktis, Filsafat ialah kegiatan berpikir. Segala pikiran manusia itu menjaring dan


menelaah yang ada. Semua manusia tentu dapat berpikir, namun untuk berpikir yang terkategorikan kedalam berpikir filsafat haruslah memenuhi beberapa persyaratan yang ditentukan yakni harus sistematis, konsepsional, koheren, rasional, sinoptik, dan harus terarah pada pandangan dunia.

 

Hubungan Antara Agama dan Filsafat

 

Dalam pandangan umum atau "Common Sense," filsafat dan agama memang merupakan dua entitas yang jelas berbeda dan seringkali mengalami perseteruan yang kompleks. Persinggungan antara keduanya dapat dilihat pada fase pemikiran Imam Al-Ghazali dan Ibnu Rusyd dengan karya-karya mereka. Meskipun terdapat perbedaan, filsafat dan agama juga memiliki titik temu, yaitu pada "The Ultimate Reality," sebuah bidang fundamental yang menjadi persoalan hidup dan mati manusia. Secara terperinci, filsafat dan agama memiliki beberapa persamaan sebagai berikut:

  1.  Filsafat dan agama sama-sama mencari sebuah kebenaran. 
  2. Lapangan filsafat dan agama ialah satu yakni membahas masalah prinsip yang ghaib, jauh daripada suatu wujud yang dihadapi (Tuhan). Dalam filsafat sendiri disebut dengan teologi dan itu dinamai dengan “Queen of the Sciences” (Ratu Ilmu Pengetahuan). Dalam agama semisal Islam dinamai dengan Tauhid.
  3.   Filsafat dan agama memiliki tujuan dalam membina kebahagiaan manusai lewat iman juga amal baik.
  4.  Filsafat dan agama ialah sumber nilai, khususnya nilai etika.
  5.   Filsafat juga agama mempunyai tujuan yang ideal yakni memahami dunia
  6. Filsafat dan agama menjaring bidang yang serupa, yakni yang disebut dengan “The Ultimate”.

Dalam upaya memperoleh kebenaran pengetahuan atau pengetahuan yang benar, filsafat sebenarnya dapat berfungsi sebagai alat yang efektif untuk menjelaskan dan memperkuat kedudukan agama. Sebaliknya, agama dapat menjadi sumber inspirasi bagi pemikiran filosofis yang kuat dan benar. Banyak pemikiran filosofis yang pada akhirnya bermuara pada keimanan akan adanya Tuhan, yang merupakan ciri dasar agama sebagai sistem kepercayaan kepada Tuhan. Oleh karena itu, tidak jarang para filsuf yang semakin memperkuat keimanannya setelah melakukan pengembaraan filosofis secara mendalam di bidang yang mereka geluti.

 

Jika dicermati, terlihat bahwa alasan utama terjadinya penolakan terhadap agama dan Tuhan oleh sebagian filsuf seringkali disebabkan oleh keterbatasan akal mereka yang tidak mampu mencapai tingkat keimanan dalam perjalanan menelusuri kenyataan. Selain faktor utama ini, latar belakang kehidupan dan lingkungan sosial filsuf juga mempengaruhi pandangan mereka. Faktor terpenting, menurut pandangan keagamaan, adalah hidayah dan bimbingan Tuhan. Hanya filsuf yang menerima hidayah dari Tuhan yang dapat mencapai fase keimanan pada akhir perjalanan filosofis mereka.

 

Untuk memahami hubungan antara filsafat dan agama, beberapa pertanyaan penting perlu diajukan, antara lain:

  1. Apa yang bisa diketahui manusia hanya dengan intelek murni? Ini mencakup pengetahuan yang dapat dicapai melalui pemikiran rasional dan analisis filosofis, tanpa bantuan sumber eksternal seperti wahyu.
  2.  Apa yang hanya bisa diketahui melalui wahyu? Ini merujuk pada pengetahuan yang diperoleh dari sumber eksternal yang dianggap datang langsung dari Tuhan, seperti kitab suci atau wahyu ilahi, yang tidak dapat dicapai hanya melalui pemikiran rasional atau intelektual semata.

Pertanyaan-pertanyaan ini membantu membedakan antara pengetahuan yang berasal dari usaha intelektual manusia dan pengetahuan yang diungkapkan melalui wahyu ilahi.

 

Agama dan Filsafat, memang secara epistemologis seringkali diposisikan pada tempat yang berbeda, saling berhadapan, dan, bahkan, bertentangan. Hal ini biasanya didasarkan atas pandangan bahwa landasan epistemologis keduanya memang berbeda, karena agama bersumber dari keimanan kepada wahyu Tuhan, sementara filsafat berpijak pada rasionalitas manusia. Dua ruang yang berbeda inilah yang menjadikan perbincangan seputar hubungan keduanya menjadi tak pernah membosankan dan tak kunjung selesai. Apalagi rumusan definitif dari keduanya, agama dan filsafat, juga hingga saat ini belum mencapai rumusan yang disepakati. Bisa dikatakan bahwa banyaknya rumusan definisi keduanya adalah sebanyak orang yang mendefinisikannya.

 

Penutup

Agama dianggap sebagai kebenaran mutlak dan universal oleh para pemeluknya, namun masih perlu dipertanyakan apakah pengalaman keagamaan yang telah dilakukan selama ini benar- benar mencerminkan esensi kebenaran universal yang diwahyukan oleh Allah. Jika sudah mencerminkan esensi tersebut, apa jaminannya? Jika belum, maka pemeluk agama, khususnya kaum Muslimin, perlu terus membuka diri untuk mempertanyakan secara radikal bagaimana paradigma pengungkapan pengalaman keagamaan mereka seharusnya, agar selaras dengan esensi kebenaran wahyu itu sendiri. Sehingga, di sinilah pentingnya filsafat, yang menawarkan ketajaman dalam menghasilkan pertanyaan radikal tentang agama. Filsafat dapat berfungsi sebagai alat yang tepat dan efektif untuk mengarahkan manusia pada pemahaman yang lebih mendalam tentang tujuan agama, sebagaimana diyakini.

References

al-Qoi’I, Muhammad Abdul Mun’im, Qonun al-Fikr al-Islami (Kairo: Dar al-Hikmah, 2023)

Kasno, Filsafat Agama (Surabaya: Alpha Lubis, 2018)

K Sukardji, Agama-agama yang Berkembang di Dunia dan Pemeluknya (Bandung: Angkasa, 2007)

Suriasumantri, Jujun S. ed., Ilmu dalam Perspektif, (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1999).

Suaedi, Pengantar Filsafat Ilmu, (Bogor: IPB Press, 2016)


*)Penulis: Abdul Hafiz (Mahasiswa Pasca Sarjana Pendidikan Kader Ulama Masjid Istiqlal)


Posting Komentar

0 Komentar