Varian virus baru Covid-19 muncul menjelang akhir 2019 dan masuk ke Indonesia pada 2020. Hari-hari setelahnya di layar televisi selalu dihiasi oleh pemberitaan tersebut. Kehadiran virus itu lambat laun memengaruhi berbagai pola aktivitas kita, termasuk mereka yang bekerja di sektor publik seperti jurnalis. Jurnalis yang biasanya berinteraksi langsung dengan para narasumber di lapangan, pola kerjanya berubah melalui berbagai perantara seperti menelepon untuk menghindari pertemuan langsung, atau menggunakan aplikasi seperti Google Zoom, Google Meet, dan sebagainya. Was-was saat ke lapangan menjadi sebuah keniscayaan di antara keinginan mengabarkan informasi kepada masyarakat atau potensi tertular Covid-19.
Bekerja sebagai jurnalis “di masa-masa sulit” (istilah yang saya gunakan untuk membedakan bekerja dalam situasi normal dengan situasi pandemi covid-19) sangat menguji adrenalin. Hal ini diakui Hendri Irawan, salah satu wartawan media IndojayaNews.com. yang bertugas di area Kota Banda Aceh.
“Pandemi Covid-19 telah mengubah berbagai pola aktivitas seluruh masyarakat tanpa terkecuali. Interaksi secara langsung menjadi harus diminimalkan. Hal yang amat sulit bagi kami yang bekerja di lapangan seperti jurnalis. Area bekerja jurnalis adalah di lapangan dan bertemu dengan orang untuk diminta informasinya, ” kata Hendri”.
Photo Hendri Irawan
“Saya secara pribadi agak was-was, dengan mematuhi protokol kesehatan ketat, saya pun kembali ke lapangan. Rasa was-was tersebut ada hubungan dengan penetapan status darurat global terkait virus korona oleh World Health Organization (WHO) pada 30 Januari 2020,”katanya.
Hendri mengatakan, sebelum ditemukan vaksin Covid-19, dalam melakukan aktivitasnya apabila masih memungkinkan untuk menggunakan perantara maka itu menjadi opsi proritas baginya, kecuali ada kasus pembunuhan atau; kebakaran atau sebagainya; yang memang diharuskan melihat langsung seperti apa kejadiannya. Ia sudah menjadi wartawan sejak 2016. Sangat terasa perbedaan bekerja sebagai jurnalis saat pandemi Covid-19 dengan kondisi sebelumnya.
“Kalau dulu, kita dengan mudah bisa berjumpa dengan informan di sela-sela kesibukan seperti di warung kopi, ke rumahnya, ataupun ke kantornya. Namun, saat pandemi Covid-19 menjadi hal yang sulit. Kalaupun diizinkan ke rumah narasumber maka sudah melakukan swab dan dinyatakan negatif, ”katanya.
Saat pemerintah memberikan kesempatan vaksinasi bagi jurnalis, Hendri langsung melakukan vaksinasi tahap pertama. Ia menyadari bahwa vaksin akan meningkatkan imunitas tubuh, tetapi bukan berarti bisa abai pada protokol kesehatan. Ia tetap memakai masker dan hand sanitizer yang sudah menjadi “teman” paling dekat saat meliput ke lapangan. Setelah vaksinasi Hendri merasa lebih tenang ketika bekerja di lapangan. Hal itu berpengaruh terhadap intensitas aktivitasnya di lapangan yang lebih banyak dibandingkan sebelumnya.
“Saya pun melakukan vaksinasi tahap dua. Berita bohong terkait vaksin sangat banyak beredar di media sosial. Hal awal yang saya lakukan untuk membendung berita bohong yang beredar yakni dengan melakukan sosialisasi kepada orang terdekat seperti orang tua, adik, dan sanak saudara lainnya. Orang tua dan adik-adik saya sudah melakukan vaksin semuanya termasuk yang masih kelas satu madrasah ibtidai’yah negeri (MIN)”.
Wartawan lainnya, Cut Nauval Dafistri yang berasal dari Aceh Besar dan merupakan jurnalis media waspadaaceh.com. juga mengalami hal yang sama. Ia mulai berkarier sebagai jurnalis sejak 2020, di masa-masa sulit untuk berinteraksi dengan siapa pun. Cut Nouval melihat jurnalis sebagai profesi yang mengantarkannya untuk mempelajari banyak hal.
Photo Cut Nauval Dafistri
“Area tugas saya bersifat random. Hanya fokus isu saja, seperti polhukam, ekonomi, pariwisata, dan lingkungan. Namun, apabila ada kejadian lain dan mampun diliput maka itu menjadi area tugas saya, ”katanya.
Pandemi Covid-19 telah membuat Cut Nouval sangat was-was. Ia pun melakukan vaksinasi sebagai ikhtiar menjaga imunitas. “Saya vaksinasi bersama teman-teman jurnalis dari berbagai media, saat itu saya vaksinasi di Ulee Lheue. Kantor saya tidak ada kebijakan untuk mewajibkan melakukan vaksin. Setelah vaksin saya lebih percaya diri untuk menjalankan tugas sebagai jurnalis. Interaksi dengan orang dapat dilaksanakan kembali. Sangat sulit seorang jurnalis membatasi interaksi dengan orang lain, karena itu merupakan sumber informasinya. Setelah vaksin saya tetap mengunakan masker dan hand sanitizer sudah seperti sesuatu yang wajib. Vaksin adalah salah satu cara memutuskan mata rantai penyebaran Covid-19,” Ujarnya
Rekan Cut Nouval. Rukiah yang berasal dari Gayo Lues juga jurnalis waspadaaceh.com. Rukiah menyelesaikan studi Stara Satu pada Jurusan Ilmu Politik Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Syiah Kuala (USK). Profesi sebagai wartawan ia mulai pada tahun 2020. Ia sadar profesi wartawan mengharuskan dirinya selalu di lapangan. Area tugasnya di Kota Banda Aceh dengan fokus isu politik hukum. Memasuki tahun 2022 Rukiah sudah sering di lapangan, sementara di tahun 2021 tergantung kesediaan narasumber. Adakalanya via telepon menjadi alternatif apabila narasumber tidak bersedia berjumpa langsung. Sadar sering di lapangan maka ia melakukan vaksinasi karena apabila tidak vaksinasi, maka berisiko memaparkan kepada orang lain, apalagi orang tuanya termasuk kelompok yang rentan terpapar.
Photo Rukiah
“Bagi para pekerja di lapangan vaksin menjadi hal penting, pertama untuk rasa aman diri sendiri, kedua untuk melindungi orang lain. Vaksin adalah ikhtiar untuk sehat, jangan kita mudah termakan dengan berita-berita bohong. Aktivitas kita dapat kembali seperti semula apabila semua masyarakat sudah melakukan vaksinasi,” ujarnya.[]
*) Penulis adalah Munawwar Mahasiswa PPs Universitas Islam Ar-Raniry dan anggota Komunitas JW Banda Aceh.
0 Komentar