Pembongkaran gereja secara paksa di aceh singkil dilatar belakangi karena gereja yang didirikan di Aceh singkil itu tanpa adanya surat izin mendirikan bangunan dari pemerintah setempat. Kalau kita liat di dalam peraturan Gubernur Aceh Nomor 25 Tahun 2007 tentang Pedoman Pendirian Rumah Ibadah di Aceh syarat utama yang harus diajukan untuk membangun rumah ibadah harus menyertakan daftar nama dan Kartu Tanda Penduduk (KTP) pengguna rumah ibadah paling sedikit 150 orang, adanya dukungan dari pemerintah setempat paling sedikit 120 orang yang disahkan oleh Lurah/Geuchik setempat, serta mendapat rekomendasi tertulis dari kantor departemen agama kabupaten/kota dan forum kerukunan umat beragama kabupaten/kota.
Sedangkan jumlah pengguna rumah ibadah tepatnya di desa siompin kecamatan suroh telah memadai, yakni 525 jiwa. Sementara berdasarkan peraturan Gubernur syarat minimal pendirian rumah ibadah ketika daftar nama KTP pemeluk agama mencapai minimal 150 jiwa. Mengenai surat pemberian izin pimpinan gereja Aceh singkil mengatakan kalau sebelum mendirikan gereja mereka sudah mengajukan surat izin pembangunan ke kepala desa, camat, kantor urusan agama dan forum kerukunan umat beragama, tapi tidak ada kejelasan tentang surat pemberian izin untuk mendirikan gereja.
Berdasarkan Pasal 127 undang-undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintah Aceh. Pemeritah Aceh mempunyai tanggung jawab atas penyelenggaraan pelaksanaan syariat Islam serta menjamin kebebasan, membina kerukunan, menghormati nilai-nilai agama yang dianut oleh umat beragama dan melindungi sesama umat beragama untuk mejalankan ibadah sesuai dengan agama yang dianutnya. Kasus pembongkaran gereja secara paksa di Aceh singkil itu berbanding terbalik dengan undang-undang tersebut yang mana tidak memberikan kebebasan beragama bagi kaum minoritas. Kalau kita berpedoman pada undang-undang tersebut pemerintah Aceh seharusnya memberikan kebebasan beragama bagi kaum non muslim yang tentunya kebebasan yang diberikan tersebut tidak bertentangan dengan aturan-aturan yang telah dibatasi oleh syariat Islam.
Penyebab lainnya kenapa Aceh dikatakan sangat fanatik akan agama Islam itu dapat dilihat dari kebiasaan masyarakat Aceh yang menghukum si pelanggar syariat dengan disiram air kotoran, dipukuli, hingga diberi label dengan kata-kata sesat karena berbeda pemahaman dengan mereka. Sebagian masyarakat Aceh menganggap bentuk hukuman yang demikian merupakan bentuk sangsi yang sesuai dengan kebiasaan, adat istiadat dan budaya orang Aceh sendiri yang sangat kental akan nilai-nilai keislaman yang diwariskan secara turun-temurun. Orang Aceh menganggap melanggar syariat Islam sama dengan melanggar adat dan norma yang berlaku di dalam masyarakat. Padahal budaya Aceh itu diadopsi dari nilai dan norma syariat Islam yang harusnya menghormati nilai-nilai kemanusiaan dan anti akan kekerasan.
Mengedepankan cara dan mekanisme yang terhormat serta mencegah tindakan kekerasan massa sebagai salah satu arternatif dalam menghukum bagi si pelanggar syariat Islam di Aceh agar kasus-kasus tersebut tidak terjadi lagi karena diakibatkan oleh faktor kesalah pahaman.
*) Penulis: Siti Rafizah
Mahasiswa Hukum Tata Negara Syari'ah UIN Ar-Raniry
0 Komentar