Foto koleksi pribadi |
"Nilai
pengkhianat tidak lebih dari kotoran yang ia keluarkan dari duburnya"
(Anonimus)
Tameng
harapan terakhir yang dimiliki setiap bangsa adalah pendidikan dan juga hasil
dari pendidikannya. Pendidikan dengan seluruh sistem yang diberlakukan
menentukan arah perjalanan sebuah negeri, karena dari situlah tunas selanjutnya
lahir. Peran yang sangat penting diemban oleh kaum yang hidup dalam lingkup
pendidikan. Lebih spesifik, pendidikan yang dimaksudkan penulis adalah para Millenials yang sedang berproses dalam
dunia kampus.
Seuntai
kalimat dari seorang pejuang kemanusiaan Afrika Selatan, Nelson Rolilahla
Mandela, “Pendidikan adalah senjata paling ampuh untuk mengubah dunia’. Makna
terdalam kalimat itu adalah adanya pemusatan secara berkesinambungan terhadap
apa yang disebut Mary Evans (2004) dengan Driven
to Sweet Suicide (Dorongan
untuk bunuh diri dalam keindahan), artinya pendidikan tidak melulu
mempersiapkan calon manusia berorientasi kaku-tunduk-mengangguk, melainkan
sebagai individu yang dinamis-kritis-humanis. Dalam konsep yang dituangkan
Mary, ketika pendidikan hanya befokus pada orientasi instan-profit, maka pada
saat itulah, proses pendidikan sedang menjaninkan para pengkhianat (intelektual),
untuk disebar dalam kehidupan masyarakat yang berfungsi sebagai pembalut darah
kotor Pemerintah (Menstru-Politik).
Kenyataan
yang tidak diinginkan itu kerap hadir dalam dunia pendidikan saat ini,
perubahan perilaku manusia dengan mengandalkan banyak galar hanya semakin
mengganaskan kejahatan yang terjadi. Tidak serta merta setiap orang yang lahir
dari pendidikan benar-benar orang terdidik. Kondisi pembiaran lemahnya kekuatan
otak menjadi akar dari segala kegagalan yang hadir setelahnya. Berapa banyak calon
pelurus dan penerus bangsa yang tidak mendapatkan hak mereka untuk urusan
pendidikan, disebabkan bejat dan biadabnya para otoritas negara. Mengeruk habis
suplemen (modal dan moral) yang sepatutnya itu diberikan secara merata kepada
kaum lemah.
Pendidik
dan Yang Dididik
Proliferasi
kejahatan dunia pendidikan dipraktikkan oleh dua komponen penting, si pendidik,
dan yang didik. Prematur berpikir dan kehancuran orientasi secara total dari
rahim kampus terhadap bayi dilahirkan ke dalam ranah sosiologis, merupakan
kebejatan yang tiada terkira. Arogansi dan gengsi terhadap defisitnya
pengetahuan dari pendidik (dosen) mengenai suatu hal mengakibatkan semakin
menambah penderitaan kaum proletar. Hannah Arendt (1958) mempersepsikan hal itu
sebagai Infectious Violence
(Kekerasan yang Menular). Dengan demikian, pada saat yang dididik (mahasiswa)
memperhatikan secara berkesinambungan, akan terbentuk frame dalam otak mereka yang direkam oleh saraf Amigdala. Dalam
jangka pendidikan kampus berkisar 4 atau 5 tahun, frame itu mengkristal di
pemikiran para peserta didik, dan terwujud dalam pertunjukan perilaku.
Pendidikan
yang seharusnya memberadakan manusia dengan mekanisme perspektif-pengujian
menjadi nihil. Tidak ada lagi pengujian dan pertanyaan terhadap sesuatu. Semua
menjadi seperti perintah komando. Dan itu adalah keharaman dalam konsep
pendidikan kritis. Wacana Menteri Pertahanan melakukan Conscription (Wajib Militer) di kalangan kampus semakin
menyempurnakan perilaku pengkhianatan itu sendiri. Walaupun berbeda konteks,
namun satu kesamaan paling parah selama ini menjadi konsumsi publik adalah The Immoralities and Betrayals Movement.
Kegagalan
yang dibanggakan oleh dosen sangat menampar kekritisan pendidikan, dan disambut
hangat oleh mahasiswa dengan kualitas pemikirannya “jongkok”. Ini bukanlah
masalah sederhana, ini berhubungan dengan sumber daya manusia dan berdampak
pada ketahanan negara. Kekuatan sebuah bangsa tidak hanya dilihat dari
berseraknya insfrastruktur tetapi juga pada kualitas manusianya. Kekacauan pola
pikir dari tingkat atas, tertransfer ke dalam lapisan masyarakat paling bawah
dan membentuk banalitas pembodohan. Dan pada akhirnya, cita-cita negara
“Mencerdaskan Kehidupan Bangsa” tidak lebih hanya tulisan dindingan, yang
mendingin dalam tindakan.
Fakta
aneh bin ajaib membuktikan, berterbaran gelar seseorang sebelum dan sesudah
nama mereka, ternyata hanya semakin merumitkan persoalan dikelola dengan
kekrtitisan. Playmaker yang
seharusnya menjadi bagian dari diri pendidik hanya mitos, dan menjadikan kampus
seperti rumah hantu yang sangat angker, disebabkan melahirkan hantu-hantu
berwujud, untuk memuluskan akal bulus hantu di atasnya. Paradoksalitas sifat
ksatria akademik hingga membalikkan istilah Agent
Of Change (Agen Perubahan) menjadi Agent
of Chance (Agen Kesempatan).
Tragedi
4 September 2020
Jum’at, 4 September 2020, satu
pertunjukan dilakukan yang mengatasnamakan diri mereka (maha)siswa, sebut
mereka dengan istilah "deklarasi" Pertunjukan tersebut menjadi hal yang sangat
dibanggakan oleh mereka yang menjadi bagian deklarator, baik itu oratornya
maupun partisipatornya. Tetapi hal itu menjadi sesuatu yang berbeda dalam
perhatian penulis. Dalam pendeklarasiannya, sekelompok mahasiswa itu menyatakan
“Indonesia saat ini dalam keadaan baik-baik saja,” semoga saja mereka tidak
menyatakan kalimat tersebut dengan sumpalan RECEH hingga membutakan mata
nurani, tidak tertimpa RECEH hingga mulut menjadi diam berbelatung untuk
mengucapkan kebenaran, tidak tertambal RECEH hingga tuli dengan tangisan kaum
proletar.
Kalimat “Indonesia saat ini sedang
baik-baik saja” adalah tampilan paling telanjang penkhianatan yang dilakukan
(maha)siswa (intelektual). Karena kuantitas manusia yang hadir pada saat itu,
semua berkuatitas super-hero tetapi berkualitas super-zero. Silahkan deklarasi
apapun, karena itu adalah hak setiap warga nagara, tetapi dengan syarat harus
ada semacam deklarasi konsistensi literasi ke dalam otak, agar apa yang
dideklarasi, tidak kontradiktif dengan tujuan filosofis-humanis. Pandangan
akademik penulis, deklarasi 4 September itu adalah deretan deklarasi
pengkhianatan terhadap intelektualitas.
Deklarasi yang dipelopori KAMI (Koalisi
Aktivis Mahasiswa Indonesia) lebih dirasakan sebagai deklarasi tandingan dari
KAMI (Koalisi Aksi Menyelamatkan Indonesia). Aktvis Mahasiswa VS aksi
Menyelamatkan Indonesia, kedua komponen itu sama-sama menyatakan ingin menjaga
Indonesia dari kehancuran, tetapi masih sangat kosong substansi. Perhatian
total tulisan ini dititikberatkan pada Aktivis Mahasiswa pendukung Pemerintah
dengan seluruh kebijakan yang diberlakukan. Dikhawatirkan, deklarasi 4
September hanya sebatas gerakan RECEH yang berhasil mengelabui para
partisannya.
Sudah cukuplah kata “aktivis” menjadi
rusak oleh mereka yang dulu bagian dari itu, sekarang duduk manis dalam rezim
politik. Tidak perlu ditambah buruknya dengan deklarasi RECEH. Integritas
intelektualitas seseorang yang mudah dibeli dengan uang, berarti individu
tersebut setuju disebut pengkhianat-penjilat. Bisa dibayangkan, bila saat
berlabel (maha)siswa sudah berlumur dengan orientasi pragmatis-materialistik,
ketika selesai dengan label itu, bertaburanlah mereka sebagai Bloodsucker (penghisap darah) proletar dengan
menamakan diri “pejuang, penyejahtera, penyelamat, pelindung dan semua diksi
baik yang akan berubah jahat.
Tidak cukupkah pengkhianatan tembok
pemisah yang dibangun oleh kebijakan sepihak rektor Unsyiah untuk menumbuh
suburkan kebencian dan kecurigaan ? kekritisan jangan dinilai sebagai penyakit
dalam kehidupan di dalam kampus, itu sebuah kewajiban.
Pemberitaan Serambi Kutaraja edisi
Sabtu, 5 September 2020 berjudul “Mahasiswa Dukung Program Pemerintah.”
Mahasiswa yang mana dan program Pemerintah yang mana ? sang deklarator juga
menyampaikan “insfrastruktur yang dibangun bukan hanya untuk
menghambur-hamburkan uang negara, namun insfrastruktur dibangun untuk mendukung
pertumbuhan ekonomi.” Semoga deklarator saat berbicara itu, juga menyadari tetap tersiksanya masyarakat adat berbagai daerah dalam mempertahankan tanah
adat mereka. Arogansi aparat Pemerintah dalam bertindak seolah masyarakat
adalah penjahat negara. Semoga anda tersadar hal itu.
Deklarasi itu adalah tragedi selanjutnya dalam bahasan mengenai
pemikiran, orientasi dan perilaku. Sekelompok manusia yang tidak mau menghargai
sebuah kesetiaan terhadap kewarasan berpikir, selamat datang dalam kehidupan
yang rabun kepekaan dan kepedulian. Mahasiswa itu adalah hati dan nurani rakyat
sebut Hatta. Namun ketika hati mulai kotor dan ternoda, maka luruhlah semua
harapan rakyat itu. Mereka itu maha-siswa, bukan maha-dusta apalagi
maha-khianat. Jadilah mahasiswa yang memiliki perspektif, bukan
agresif-konsumtif. Untuk deklarasi 4 September 2020, Inna
lillahi wa inna ilaihi raji'un akal sehat.
*) Penulis: Iping Rahmat Saputra Dosen Ilmu Resolusi Konflik FSH UIN Ar-Raniry
0 Komentar