Foto profil penulis |
Legitimasi HAM sudah jauh hari ditorehkan para pendiri Indonesia dalam sila ke-5 :yakni Keadilan Sosial bagi seluruh rakyat Indonesia, jauh sebelum disahkannya pasal 27 Undang-Undang Dasar 1945. Oleh karena itu, tidak diragukan lagi bahwa HAM harus ditegakkan dan dijungjung tinggi oleh semua kalangan baik pemerintah maupun masyarakat sipil sehingga kesejahteraan sebagai tujuan sebuah negara dapat tercapai dan terealisasi.
Pada prinsip HAM, Pemerintah atau negara punya 3 kewajiban yang harus dipenuhi, yaitu to respect (Menghormati) , to protect (Melindungi) dan to fullfil (Memenuhi). salah satu kajian yang sustainable adalah bagaimana upaya untuk mencapai hak-hak tersebut, bukan hanya sekedar membuat regulasi yang mendukung, namun ada implementasi sebagai kunci kesuksesan regulasi.
Hanya saja, bagaimana jika regulasi yang diciptakan malah membuat HAM sendiri tersudutkan? Contohnya seperti UU Ormas yang bertentangan dengan konsep-konsep hak sipil dan politik, merenggut hak untuk berserikat, yang menjadi imbas pertamanya yaitu Hizbut Tahrir Indonesia (HTI). HTI telah memiliki badan hukum dan dibubarkan oleh Pemerintah tanpa melalui mekanisme konstitusional. Atau yang lebih parah lagi Hukuman Mati bagi pengedar narkoba, yang jelas-jelas mengambil Hak Hidup seseorang padahal hak hidup seseorang tidak dapat dikurangi dalam kondisi apapun baik dalam kondisi perang. Tidak hanya itu, banyak pengedar narkoba yang belum terbukti dengan jelas langsung ditembak mati di tempat oleh oknum-oknum polisi yang tidak bertanggung jawab. Terlepas dari berbagai alasan dan tujuan dibuatnya regulasi semacam itu, yang intinya konsep-konsep HAM tetap harus dihormati, dilindungi, dan dipenuhi oleh pemerintah.
Hal demikian sangat erat kaitannya dengan era populisme dan pasca kebenaran, masih banyak orang yang tidak mengetahui apa yang sebenarnya terjadi di ujung abad ke 21 ini, banyak masyarakat yang ikut-ikutan dalam kotomi yang keliru, saling hujat dan saling menyebar kebencian dimedsos sudah jadi hal biasa, setidaknya menjadi faktor utama revisi UU ITE.
Era Populisme
Era populisme yang kaya akan identitas keagamaan, konservatisme dan pramordialisme, cenderung membawa kesan negatif terhadap perlindungan HAM di Indonesia. Hal ini dapat dilihat dengan jelas, bagaimana sosok Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) di serang habis-habisan oleh kaum muslim hanya karena dalih sebuah video yang diupload di salah satu akun youtube, tidak lain itu adalah salah satu agenda politik untuk mengalahkan kandidat politik non-muslim di Pilkada DKI Jakarta tahun 2017. Islam yang harusnya toleran dan saling memaafkan, namun kesannya malah seakan tidak memberi pengampunan terhadap pihak minoritas.
Tantangan perlindungan HAM benar-benar semakin merana dari hasil catatan penegakan Hak Asasi Manusia (HAM) di Indonesia selama periode Januari-Oktober 2017 yang dirilis oleh KontraS, mengalami kemunduran, bahkan yang menjadi faktor utamanya adalah politik populisme. Hal ini dilatar belakangi oleh adanya sikap mengedepankan sentimen Agama.
Lihat apa yang terjadi terhadap Tuan Guru Bajang (TGB) Zainul Majdi ketika melontarkan komitmennya untuk mendukung Jokowi dua periode? TGB disebut Kafir! Lantas atas dasar apa mereka, para netizen menyebut TGB kafir, hanya karena mendukung Jokowi? Ini kan hujatan, sentimen agama, atau politik menjadi ancaman bagi Hak sipil dan politik seorang TGB, yang notabene keilmuan agamanya sudah diakui secara nasional.
Era dimana warga negara dengan mudahnya melabeli orang lain yang berbeda pilihan, difatwakan hilang kadar kemuslimannya, ini benar-benar tantangan yang nyata terhadap perlindungan HAM di Indonesia.
Era Pasca kebenaran
Pasca kebenaran (post-truth) adalah zaman dimana keluarnya para penyebar berita bohong (hoax) dan berita paslu (fake news). Masyarakat dengan mudahnya dapat mempercayai berita yang terus disebarkan melalui media sosial, media online, dan beberapa website yang mengedenpan isu-isu aktual, padahal pada hakikatnya belum tentu benar, bukan hanya sebatas itu, kebanyakan berita yang sebarkan berisi ujaran kebencian dan kata-kata provokatif.
Salah satu yang sangat parah adalah penyebaran berita yang bersangkutan dengan keamanan masyarakat, di Aceh yang baru meninggalkan dunia konflik, akan sangat terkena dampaknya ketika salah seorang berkoar-koar di media sosial bahwa Aceh akan perang lagi.
Isu konflik akan datang lagi dan menjadi berita hangat yang selalu disebarkan setiap mendekati pilkada, pihak partai tertentu menjadikan isu perdamaian sebagai alat untuk menakuti para pemilih. Masyarakat terus dibayangi oleh ketakutan jika tidak memilih calon yang di rekomendasikan oleh para kombatan. Keamanan masyarakat teracam oleh berita-berita yang hakikatnya hanya agenda politik, bukan fakta.
Tantangan perlindungan HAM yang dihadapi di era populisme dan pasca kebenaran menjadi tanggung jawab semua kalangan, terutama para aktivis kemanusiaan. Adanya sikap untuk terus menerus mengsosialisasikan kebenaran dan arah politik yang benar menjadi tugas dan tanggungjawab semua, sehingga masyarakat dapat tercerdaskan mana yang benar mana yang tidak. Tidak terhenti hanya untuk dilihat saja, namun ikut andil dalam mengupayakan terciptanya keamanan dan terpenuhinya hak-hak sipil politik maupun hak sosial ekonomi setiap individu yang ada di lingkungan sekitar. Penulis berharap semoga kedepan dapat terwujudnya iklim politik yang bermartabat dan berintegritas tanpa adanya pemangkasan hak-hak seseorang. Menjadi suatu keniscayaan terwujudnya penghormatan dan penghargaan terhadap hak seseorang. Aamin.
Nama : Agam Ramadhan
Penulis adalah penikmat kopi yang tak pernah jemu melihat Original Life. Penulis lahir di Bandung, 18 Februari 1995. Besar di Pidie, Aceh. Terdaftar sebagai Mahasiswa Ilmu Politik FISIP Universitas Syiah Kuala angkatan 2014. Facebook: Agam Ramadhan (Raider)
0 Komentar