ilustrasi Geogle Penulis: Munawwar |
Hak Asasi Manusia merupakan suatu hak
yang melekat pada diri sesorang sejak lahir. Menurut UU Menurut UU No. 39 tahun 1999 HAM ialah seperangkat hak yang melekat pada
hakikat setiap keberadaan manusia yang merupakan makhluk Tuhan Yang Maha Esa.
Hak merupakan anugerah-Nya yang haruslah untuk dihormati, dijunjung tinggi,
serta dilindungi oleh Negara, hukum, pemerintah, dan setiap orang untuk
kehormatan serta perlindungan harkat martabat manusia.
Sejarah Hak Asasi Manusia
sudah berlangsung cukup lama, di awali pada tahun 1215 dengan lahirnya Makna Charta di Inggris . Dalam Makna Charta
itu dicantumkan hak-hak para bangsawan yang harus dihormati Raja Inggris.
Walaupun terbatas dalam hubungan anatara Raja dan Bangsawan, namun suatu
prinsip bahwa hak-hak tertentu telah diakui eksistensinya oleh pihak penguasa.
Hal ini merupakan awal suatu kemenangan. Perkembangan HAM selanjutnya adalah
pada Revolusi Amerika tahun 1776 yang melahirkan The Virginia bill of Right “ dan Revolusi Perancis tahun 1789 yang
mencetuskan “Declaration des droit de
I’homme et du Citoyen”. Kedua Revolusi itu menghasilkan pengakuan HAM yang
lebih luas.HAM terbungkus dalam kedaulatan negara, pelayanan dan rasional dari
negara terhadap HAM tidak ada hubungannya dengan masyarakat Internasional
(jawahir Thontawi, 1997,11). Berdasarkan uraian di atas, penegakan HAM
merupakan salah satu wujud dari upaya melepaskan diri dari belenggu penindasan
dari kesewenang-wenangan penguasa yang otoriter, sehingga salah satu upaya
adalah menghentikan bentuk penindasan itu melalui penegakan hukum atas
penyelewengan tersebut, sehingga HAM dapat ditegakkan. Dalam
piagam PBB, Hak asasi Manuasia pasal 55 yang berbunyi “ Memajukan pengargaan dan penghormatan atas hak-hak asasi manusia serta
kebebasan-kebebasan dasar bagi segala bangsa tanpa pembedaan suku bangsa,
kelamin, bahasa atau agama”
Sebagaimana yang diketahui dalam
rangka pembinaan hukum nasional, peranan hukum adat, yang di dalamnya berisi
kebiasaan, dipertahankan secara turun-temurun dan merupakan bahan baku di dalam
penyusunan hukum nasional tersebut. Hukum adat sendiri dapat diartikan sebagai
berikut: pertama, hukum yang tidak
dibuat dengan sengaja, kedua, hukum
yang memperlihatkan aspek kerohanian yang kuat, ketiga, hukum yang berhubungan erat dengan dasar-dasar dan susunan
masyarakat setempat (Satjipto Raharjo, 1975:1) mempunyai sifat-sifat elastik di
dalam menghadapi kemajuan. Hukum adat memiliki dinamika yang kuat, artinya
dapat mengikuti perkembangan dan kemajuan negara, sehingga hukum adat
hakikatnya tidak akan ditingalkan atau meninggalkan anggota masyarakat, karena
hukum adat menurut Eugen Ehrlich termasuk Living Law, hukum adat sebagai hukum
yang hidup dan dipratikan dalam masyarakat dikembangkan terus dalam situasi
masyarakat yang berubah dan semakin maju.
Aceh adalah salah satu provinsi di
Indonesia yang dulunya merupakan sebuah kerajaan lima besar Islam di dunia.
Aceh saat ini merupakan bagian integrasi Indonesia.[1]
Januari 2002, sebuah undang-undang disahkan oleh Dewan Perwakilan Rakyat yakni
penerapan syariat Islam. Pemerintah Aceh menunjuk 27 anggota Majelis
Permusyarakatan Ulama (MPU) yang tugas utamanya membuat fatwa dan membuat
dirinya sebagai pilar keempat pemerintah di Aceh menambah pilar yudikatif,
legislatif dan esekutif.[2]
MoU Helsinki adalah peletak dasar di
bentuknya UUPA. MoU tersebut sebagai usaha perundingan ketiga kalinya dilakukan
pemerintah, setelah dua kali sebelumnya buntu, melalui jasa Henry Dunant Center
(HDC) hingga Cessation of Histilities
Agreement (COHA). UUPA adalah hasil
transformasi nilai-nilai dan norma yang terkandung di dalam MoU Helsinki.
Dengan semangat dan komitmen menyelesaikan konflik Aceh secara damai,
menyeluruh, berkelanjutan, dan bermartabat, serta demi menciptakan kondisi
sehingga pemerintahan rakyat Aceh dapat diwujudkan melalui suatu proses yang
demokratis dan adil.[3]
Syariat Islam sudah menjadi sesuatu
yang mendarah daging dan sangat tidak bisa dipisahkan dalam diri masyarakat
Aceh, apabila kita kembali membuka lembaran perjuangan yang coba digagas dan
dilakukan oleh pedahulu dahulu adalah untuk mendapatkan pelaksanaan Syariat
Islam yang memiliki payung hukum secara nasional, kehadiran Syariat Islam di
Aceh sudah di mulai disaat masa Presiden Soekarno yang mengambulkan permintaan
Rakyat Aceh untuk melaksanakan Syariat Islam, namun harapan tersebut tidak
kunjung menjadi kenyataan, barulah pada tahun 1999, harapan masyarakat baru
benar-benar terwujud melalui UU No 44 tahun 1999 tentang Penyelengaraan
Keistimewaan Provinsi Daerah Istimewa Aceh. Konflik yang sudah di mulai sejak
lama, dan baru berakhir tahun 2005 melalui perjanjian di Helsinki, membuat
keberadaan Syariat Islam semakin kuat melalui implentasi UU Nomor 11 Tahun 2006
tentang pemerintah Aceh. Undang-undang ini juga bersifat lex spesialis.
Dengan
demikian pedoman pelaksanaan kehidupan di Aceh mengacu kepada undang-undang
tersebut termasuk pelanggaran , seperti perzininaan dan lain-lain, hukumannya
pun beragam baik itu cambuk, rajam dan sebagainnya. Mengenai pelaksanaan cambuk
ini."Komnas HAM juga
berpendapat penangkapan dan penghukuman cambuk tersebut, bertentangan dengan
Kovenan Internasional atas Hak-hak Sipil Politik dan Konvensi Menentang
Penyiksaan dan Perlakuan atau Penghukuman Lain yang Keji, Tidak Manusiawi, atau
Merendahkan Martabat Manusia. Dalam deklarasi
Human Right atau piagam PBB pasal
7 menyatakan bahwa setiap orang memiliki hak untuk tidak di siksa (hak non
derogable).
Ditambah
lagi menurut ICJR hukuman cambuk yang diberikan semakin berat, sampai dengan 100 deraan
cambuk. Artinya klaim hukuman hukuman cambuk yang digunakan untuk mempermalukan
terpidana (efek jera) tidak bisa lagi dipertahankan, dan secara perlahan-lahan
hukuman ini berubah menjadi hukuman bengis yang bersifat melukai-merusak
tubuh," ujar Ajeng.Salah seorang terpidana Linda Darmawati (21) mendapat
hukuman cambuk 26 kali deraan.
Dan menyerah dan algojo
menghentikan eksekusi. Menurut Tim Dokter, Kondisi tekanan darah turun
dari 90 menjadi 60. Setelah dicambuk ia tidak bisa dilanjutkan karena kondisi
psikisnya tiba-tiba shock.Penggunaan hukuman cambuk dinilai sebagai penyiksaan,
hukuman kejam tidak manusiawi dan merendahkan martabat.
"Juga melanggar
hukum internasional tentang penyiksaan, dan perlakuan kejam, tidak manusiawi,
atau tidak bermartabat lainnya yang ada di dalam Kovenan Internasional Hak-Hak
Sipil dan Politik (ICCPR) dan Konvensi Internasional Melawan Penyiksaan dan
Perlakuan atau Penghukuman yang Kejam, Tidak Manusiawi, atau Merendahkan
Martabat (CAT), yang mana Indonesia merupakan salah satu negara yang
meratifikasinya.[4]
Menurut
undang-undang 1945 secara formal tidak ada perbedaan antara laki-laki dan
perempuan, pasal 27 UUD 1945 dengan tegas mengatakan bahwa semua orang sama
kedudukannya di hadapan hukum. Penerapan Syariat Islam di Aceh, telah mengundang kontroversi dalam
beberapa persoalan diantaranya menyangkut diskriminasi terhadap kaum perempuan.
Kalangan aktivis perempuan berpendapat bahwa penerapan Syariat Islam di Aceh
lebih memojokkan kaum perempuan, sebagaimana yang di sampaikan oleh ibu
khairani, bahwasanya berlakunya Syariat Islam di provinsi Aceh maka sangat
memojokan kaum perempuan. Dan perempuan telah dipaksakan mengunakan busana
muslim. Ironisnya, di sisi lain, koruptor-koruptor di Aceh sama sekali belum
tersentuh sedikitpun oleh hukum Syariat Islam.
Aturan negara kita
mengakui keberadaan hukum adat hal tersebut telah diakui secara konstitusional.
Sebagaimana tertuang dalam Pasal 18B ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945 yang
menyatakan bahwa “Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat
hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai
dengan perkembangan dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia yang diatur
dalam undang-undang”. Selanjutnya dalam Pasal 28I ayat (3) Undang- Undang Dasar
1945 dinyatakan bahwa identitas budaya dan hak masyarakat tradisional dihormati
selaras dengan perkembangan jaman dan peradaban. Dalam berbagai undang-undang
juga disinggung memgenai Berkaitan dengan menguatnya peran dan kapasitas
kearifan lokal dalam masyarakat, sistem hukum nasional juga harusbersiap
memberikan ruang untuk menghadapi situasi yang disebut oleh Holleman sebagai hybrid
law atau unnamed law. Hybrid law atau unnamed law adalah
situasi dimana tumbuh bentuk hukum-hukum baru yang tidak dapat diberi label
sebagai hukum negara, hukum adat atau hukum agama. Pada perkembangannya saat ini
dapat dilihat di beberapa daerah di Indonesia telah banyak upaya melembagakan
hukum adat ”baru” dengan format hukum negara, yaitu menjadi peraturan daerah
atau peraturan desa mengikuti struktur formal dan logika hukum negara.
Dengan demikian tantangan
perlindungan HAM di Indonesia di sebabkan dengan adanya kearifan lokal yang
diadopsi oleh daerah tersebut, sebagaimana yang terjadi di Aceh, di mana
pelaksanaan pelanggaran hukuman di kembalikan kepada Syariat Islam, walaupun
hal tersebut jika kita mengacu kepada Piagam PBB pasal pasal 7 menyatakan bahwa
setiap orang memiliki hak untuk tidak di siksa. Kendati pelaku tersebut
memiliki daya tahan fisik yang rendah, maka tetap saja dilaksanakan seperti
ketentun yang seharusnya.
[1] Yususf
Al-Qardhawy Al-Asyi, Status Aceh Dalam
NKRi, Grafindo Litera Media:Yogyakarta,2014, hlm. 1
[2]
Harry Kawilarang, Aceh dari Sultan
Iskandar Muda ke Helsinki, Bandar Publising:Banda Aceh, 2010, hlm 166
[3]
Sulaiman Tripa, Bukan Undang-undang
Biasa, Bandar Publising:Banda Aceh, 2016, hlm 263
[4]http://nasional.kompas.com/read/2017/02/05/14180791/icjr.minta.jokowi-jk.hapus.hukum.cambuk, di akses tanggal 15 juli 2017, pukul 21.20 Wib.
0 Komentar