ilustrasi geogle Oleh Munawwar
Aceh suatu Provinsi yang memliki keunikan
bila dibandingkan dengan provinsi yang lainnya keunikan itu ialah dimana
masyarakat Aceh memiliki jiwa kehorikan yang begitu tinggi , Aceh adalah suatu
provinsi yang cukup berjasa di dalam mendorong terwujudnya kemerdekaan negara
Kesatuan Republik Indonesia, ya hal ini bisa kita temukan di banyak literatur
buku, di mana kala itu semua daerah ataupun hari ini kita kenal dengan sebutan
sudah bisa di taklukan oleh Belanda namun masih ada satu daerah ataupun
provinsi yang belum bisa di taklukan oleh Belanda yaitu Aceh, secara hukum
Internasional, maka Indonesia ataupun kala itu di kenal dengan sebutan
Nusantara belum takluk, sehinga Soekarno berani mengatakan bahwa kami belum
takluk, lihat saja masih ada satu daerah yang tidak berhasil di taklukan yaitu
Aceh.
Singkat ceritanya, Aceh menjadi nafas
terakhir Indonesia sebelum merdeka, sehingga Soekarno memberikan julukan Aceh
sebagai daerah modal. tentunya ada sesuatu keunikan, dimana masyarakat Aceh,
memiliki sifat heroik dan pantang menyerah, untuk membela apa yang ia yakini
benar, lihat saja retentan konflik yang terjadi di aceh, sudah berlangsung
cukup lama, di awali di saat datang penjajah, hingga konflik antara Tgk Daud
Bereuh dengan Pemerintah Kesatuan Republik Indonesia, bahkan setelahnya juga
lahir perjuangan sambungan ataupun terusan yang di lakukan oleh Tgk Muhammada
Hasan Di tiro. Apabila kita cermati seksama, maka konflik ini sudah berlangsung
cukup lama, tidak sedikit harta benda hingga nyawa yang di korban untuk
memperjuangakan sesuatu yang di anggap benar.
Konflik Daud Bereuh dan Tgk Hasan di
Tiro tidak lepas dari keinginan untuk di berikan keadilan untuk masyarakat Aceh,
yang di anggap pemerintah Indonesia sudah sewana-wenanya dengan masyarakat dan
di perlukan perjuangan lewat senjata. Penulis akan lebih membahas paska
berakhirnya konflik dengan di tanda tangani perjanjian damai, antara Gerakan
Aceh Merdeka (GAM) dengan NKRI, sehingga melahirkan suatu produk politik, yang
hari ini kita kenal dengan Mou Helsinki, agar perjanjian tersebut, legal secara
Undang-undang maka lahirlah Undang-Undang Pemerintah Aceh ataupu sering kenal
dengan UUPA.
UUPA ini menjadi babak baru, bagi Aceh,
UUPA adalah implemtasi dari butir butir MOU Helsinki, dari UUPA juga lahir
partai lokal, yang kemudian partai lokal ini menjadi jalan baru perjuangan yang
dilakukan untuk memperoleh keadilan.
Lalu Bagaimana Pelaksanaan Pilkada Di Aceh
paska Mou Helsinki
Berbicara pelaksanaan
Pilkada tentunya kita mengacu kepada Undang-Undang Dasar 1945 dimana,
pergantian roda pemerintahan harus mengunakan mekanisme pemilihan umum,
sebagaimana yang termaktum ke dalam pasal 22 E tentang pemilihan umum. Oleh
sebab itu, pergantian roda pemerintahan di Aceh juga mengacu ke dalam aturan
tersebut. babak baru itu bergulir pada tahun 2006, dimana Aceh menghelat
pelaksanaan pilkada pertama pasca perdamaian antara GAM dan NKRI.
Tentunya pelaksanaan pilkada pertama ini berjalan
dengan baik, sangat masif tensi teror yang terjadi, bahkan berdasarkan kajian
LIPI, pelaksanaan Pilkada ini berlangsung dengan baik, kinerja kepolisian yang
di bantu oleh TNI relatif baik hingga berjalan sukses, bahkan dunia
Internasional pun memuji keberhasilan pelaksana Pilkada tahun ini.(sumber: http://www.politik.lipi.go.id/kolom/kolom
1/politik-lokal/1111-masalah-keamanan-pilkada-aceh-2017-pengalaman-dan-pembelajaran-pilkada-aceh-2006-dan-2012)
Pelaksanaan Pilkada tahun 2012, di warnai
berbagai peristiwa salah satu ialah adanya peningkatan tensi keamanan yang
mengancam pelaksanaan pilkada, bahkan pelaksanaan pilkada sempat di tunda
awalnya pelaksanaan pilkada di jadwalkan dilaksanakan tanggal 16 ferbruari 2012
namun di undur dan baru terlaksana tanggal 09 April 2012.
Sejak
bulan Januari 2012, kondisi keamanan di Aceh sudah di rasakan sangat tidak kondusif . banyak peristiwa, semisalnya
sekelompok orang yang tidak di kenal bersenjata melakukan penembakan kepada
warga di sejumlah lokasi dan mengakibatkan enam orang tewas, walaupun belum
dapat di pastikan apakah penembakan tersebut terkait dengan pilkada, namun
dampaknya sangat besar dalam menciptakan ketakutan dalam masyarakat.
Peningkatan tren masalah keamana pada pilkada ini memang beralasan,
apalagi, dar seluruh wilayah di Indonesia yang saat itu sedang melaksanakan
pilkada, pilkada Aceh yang dinilai paling rawan, karena selama proses pilkada
sudah terjado 57 kasus teror dan intimidasi. Data panitia pengawas Pilkada Aceh
menyebutkan sampai pada tanggal 1 April 2012, tercatat terjadi 57 kasus teror
berupa intimidasi di seluruh Aceh dan semuannya terkait dengan pelaksanaan
Pilkada.
Pada pelaksanaan pemilihan legislatif tahun 2014, intesitas konflik
masih juga terjadi, Sebagai salah
contoh yang masing familiar dengan ingatan kita adalah seperti yang dialami
oleh Muhammad Azmumi alias Bodrex, caleg DPRA dari PA (partai Aceh) yang
mobilnya musnah dibakar oleh orang tidak dikenal (OTK) (serambi, 20/1/2014),
belum lagi aksi pengeroyokan dan penculikan yang dialami Ramli dan Jufradi,
keduannya merupakan kader PNA (Asmaul husna, berpolitiklah secara sehat dan
santun, Rubrik Opini, serambi Indonesia, 25/1/2014).
Di tambah lagi, pada
saat itu kantor PA, Dewan Pimpinan Sagoe
(DPS) Lueng Bata Banda Aceh, di granat orang tidak di kenal, dan peristiwa
paling anyar yakni penembakan mobil caleg PA di Bireun yang menewaskan tiga
orang terjadi pada (31/3), sebelumnya posko NasDem di serang orang tidak
dikenal dengan senjata laras panjang jenis M-16 dan A1 di jalan Line Exxon
Mobil desa Kunyet Mule, kecamatan Matangkuli, di Kabupaten Aceh Utara, pada
(16/1). (sumber: http://www.republika.co.id/berita/pemilu/berita-pemilu/14/04/05/n3jed6-konflik-politik-di-aceh-karena-persaingan-tidak-sehat).
Sebelum memasuki pesta
demokrasi yang dilaksanakan pada tanggal 15 Februari 2017,penulis mendeteksi
adanya sinyal-sinyal ataupun potensi konflik, “mengutip tulisan Maya Dara
Puspita di media online Aceh hari com, dengan judul Maraknya kasus Kekerasan di
Aceh Jelang Pilkada 2017 dan Potensi dampaknya”
Beliau mencatat ada
sekitar 17 kasus kekerasan di Aceh bermotif politik Pilkada Aceh, salah satu
contohnya, ialah pada tanggal 15 Novermber 2016, di Bireuen, seorang warga
masyarakat di aniaya oleh Ketua KPA dan PA Kabupaten Bireuen, Darwis Jeunib, di
tambah lagi, mobil salah satu timses kandidat calon gubernur di tembak oleh
orang tidak di kenal, beliau bernama Muhammad alias Amad
Manok.(sumber:Tribunnews.com,14/1/2017).
Pasca pelaksanaan
Pilkada, tensi ganguan keamanan meningkat, dimana aksi penembakan menimpa salah
satu kader Partai Nasional Aceh (PNA) di Gampong Peunaro Baru, kecamatan
Peunaron, Aceh Timur, beliau bernama Juman. (sumber:Tribunnews.com,05/03/2017).
Oleh sebeb itu Konflik
dan Pilkada adalah sesuatu yang tidak bisa di pisahkan, seakan hal ini sudah
menjadi suatu hal yang khas, namun belum bisa di hilangkan, walaupun perjanjian
damai ini sudah memasuki usia 17 tahun, namun aksi teror dan letusan masih
mewarnai pesta demokrasi, yang berlangsung, apapun yang terjadi pesta demokrasi
sudah usai, hanya menunggu penetapan ataupun pengukuhan saja, menunggu hasil
keputusan MK atas gugutan yang dilakukan.
Penulis juga tidak bisa memungkiri bahwa traformasi, politik
yang terjadi di Aceh bejalan secara lambat, pola-pola lama masih di lakukan,
untuk menuju orang nomor satu di Aceh, semoga kedepan pesta demokrasi bisa
berlangsung secara khitmat lagi, tidak ada lagi konflik dan pilkada, perjuangan
yang dilakukan oleh para kombatan harus mengunakan cara soft atau lembut, rakyat Aceh butuh pertujukan pesta demokrasi yang
semarak, tanpa di bumbui akan teror dan intimidasi. Semoga kedepan bisa berlangsung pesta
demokrasi secara khitmah. Aamin.
|
0 Komentar