Sumber gambar dari Google |
Masih teringat dibenak kita semua, ketika gejolak Arab spring melanda negara-negara di Timur Tengah yang terjadi pada awal tahun 2011 yang lalu. Besarnya keinginan masyarakat untuk menjatuhkan rezim yang sedang berkuasa seakan tak dapat dibendung lagi, ketidaknyaman, tidak merasa sejahtera, dan berbagai krisis ekonomi dan politik yang terjadi di dalam negara yang mereka tinggali, seakan memberi sinyal bahwa perlu adanya suatu tindakan nyata dari masyarakat untuk mengatasi kondisi yang demikian. Dan Negara Tunisia menjadi awal dari fenomena Arab Spring dan cikal bakal munculnya gelombang protes yang begitu besar dari para masyarakat untuk segera melakukan revolusi agar tercapainya sebuah sulusi.
Tunisia yang telah menjadi awal dari bergejolaknya Arab Spring, dan berhasil menjatuhnya rezim yang sedang berkuasa saat itu yaitu Zine al-Abidine Ben Ali, kemudian menjadi sorotan di berbagai negara khususnya kawasan Timur Tengah, bahwa sesungguhya kemarahan yang ditunjukkan oleh masyarakat untuk segera melengserkan rezim yang diaggap tidak bisa mensejahterakan mereka harus segera dieksekusi dengan tegas dan berani. Sehingga dengan demikian apa yang telah ditujukkan oleh Tunisia menjadi contoh bagi negara-negara lainnya yang ada di Timur Tengah untuk ikut melengserkan rezim yang sedang berkuasa dengan cara revolusi. Terbukti bola Arab Spring tersebut kemudian terus menggelinding dan singgah di negara-negara kawasan Timur Tengah lainnya seperti Mesir, Aljazair, Yaman, Bahrain, Libya, kemudian Suriah. Tujuan dari bola itu sama, yaitu mengingikan adanya revolusidi negara meraka dan berharap adanya tatanan kehidupan yang lebih baik kedepannya. (Comes UMM, 2013 : 314).
Seperti layaknya negara-negara yang ada di Timur Tengah yang ikut mencicipi revolusi, dan telah berakhir masa konfliknya sehingga terciptanya tatanan kehidupan yang baru dengan rezim yang baru, telah mencerminkan bahwa adanya keberhasilan yang dicapai oleh masyarakat yang melakukan tindakan protes tersebut, dan kegagalan dari pemimpin negara untuk mempertahankan kekuasaanya. Namun kondisi demikian berbeda dengan Suriah, nyatanya bola Arab Spring tersebut masih belum bisa meninggalkan Suriah dikarenakan belum tercapainya tujuan dari revolusi, dan rezim yang berkuasa belum bisa dilengserkan.
Sehingga Suriah sampai tahun 2017 ini, masih enggan merubah musim seminya yang penuh dengan gejolak politik dan konflik tersebut. Gelombang protes yang terus ditunjukan oleh masyarakat yang menginginkan rezim turun dari jabatanya, belum membuahkan hasil. Bassar Al Assad yang merupakan presiden Suriah saat ini masih dengan posisinya yang semakin kuat, dengan sokongan negara-negara sekutunya, seperti Rusia dan China, semakin memberikan kekuatan kepada dirinya untuk mempertahankan jabatanya dari tanduk kepresidenan Suriah.
Awal Konflik Suriah
Gelombang revolusi meletus di Suriah pada 15 Maret 2011 yang bermula dari tertangkapnya beberapa siswa yang berumur 10-15 tahun oleh polisi Suriah dan kemudian mereka disiksa karena telah menggambarkan graffiti di tembok-tembok kota dengan slogan “As-Shaab Yoreed Eskaat el Nizam (Rakyat Menginginkan rezim turun) (Trias Kuncahyono, 2012 : 114 ). Keinginan rakyat Suriah untuk melakukan revolusi dan menginginkan Bassar Al Assad segera digantikan posisinya dari jabatan Presiden di Suriah dikarenakan Rezim Bassar Al Assad yang memimpin Suriah dianggap telah begitu lama berkuasa, yang dimulai sejak Ayahnya Hafez Al Assad pada tahun 1972, dan kemudian di gantikan oleh anaknya Bassar Al Assad sejak tahun 2000 hingga sekarang, di bawah partai Baath yaitu partai yang melanggengkan kekuasaan Assad di Suriah.
Kepemimpinan Bassar Al Assad yang cukup lama tersebut ternyata menyebabkan kondisi Negara Suriah mulai tidak stabil, baik sosial, ekonomi, dan politik sehingga menyebabkan banyaknya penggangguran, tingginya inflasi, terbatasnya kesempatan mobilitas sosial, pembatasan kebebasan politik, dan juga aparat keamanan yang represif menjadi alasan kuat besarnya gelombang protes dari rakyat Suriah untuk menginginkan terjadinya transisi jabatan presiden Suriah tersebut. Selain itu adanya perbedaan indeologi Sunni-Syiah yang ada di Suriah juga menjadi salah satu rentetan penyebab bergejolaknya krisis politik di Suriah.
Gejolak Politik yang terus melanda Suriah ternyata menimbulkan banyak kerugian secara finansial dan korban jiwa yang terus berjatuhan. Rezim Bassar Al Assad seakan menutup mata dengan kondisi Suriah yang bersimbah darah, malah dengan kejamnya terus mengirimkan pasukan tentaranya dan memborbardir kawasan-kawasan yang banyak ditinggali oleh masyarakat sipil, seperti kota Allepo. Sehingga dengan tindakannya tersebut, krisis kemanusianya tak dapat dibendung. Hal ini terbukti dengan banyakya korban jiwa khusunya dari anak-anak, misalnya di tahun 2016 UNICEF mencatat yang dikutip dari Indonesia Marie Claire, bahwa tahun 2016 merupakan tahun terburuk bagi anak-anak korban konflik Suriah, dimana sedikitnya ada 652 anak tewas. Selain itu secara keseluruhan dari data yang diinput oleh Lembaga Pemantau Suriah, Syrian Centre for Policy Research (SCPR) yang dikutip dari CNN Indonesia, korban tewas dalam perang di Suriah mencapai 470 ribu orang, dan kerugian ekonomi akibat perang mencapai US$225 miliar.
Kondisi yang dialami Suriah saat ini, memperlihatkan bahwa kejamnya dan sadisnya seorang penguasa untuk mempertahankan kekuasanya dengan melakukan berbagai cara yang jauh dari nilai-nilai manusiawi, lebih tepatnya bertangan besi. Apa yang dilakukan Bassar Al Assad tersebut, seperti halnya yang pernah dilakukan oleh seorang penguasa di masa klasik, yaitu Machiavelli. Dimana dalam teori dan praktiknya Machiavelli melakukan berbagai cara untuk mempertahankan kekuasaan politiknya, walaupun dengan tindakan-tindakan kekerasaan, asalkan jabatannnnya tetap dapat dipertahankan. Dan sekarang kita kembali melihat implementasi dari teori Machiavelli tersebut dengan melirik kondisi Suriah saat ini.
Oh Suriah? Kapankan musim semimu berakhir? Kapankan masyarakatmu bisa hidup tenang kembali, dengan kota yang indah, dan tidak ada lagi perang saudara yang akhir-akhinya hanya meninggalkan luka. Oh rezim yang sedang berkuasa, cobahlah engkau berfikir terlebih dahulu sebelum berbuat, engkau seperti tak punya urat malu dengan terus melakukan tindak kriminalisasi terhadap rakyatmu sendiri. Tak perlu kau pertahankan jabatan itu, jika yang kau temui hanyalah negara yang dilumuri darah, kota-kota indah yang mati karena bom-bom pembalasan, masyarakat mengungsi karena hidupnya terancam. Semoga dunia dibelahan bumi lainnya merasakan apa yang dirasakan oleh Suriah, dan semua lembaga yang seharusnya mengambil peran untuk bisa menyelesaikan konflik ini dapat dengan tegas melaksanakan tugasnya. Dan Suriah ku doakan untuk tahun ini musim semimu akan berakhir. Semoga!
Penulis
Putri mulya sari
Mahasiswa Ilmu Politik
0 Komentar