Mohammad Morsi, Presiden Pertama Mesir Pasca Revolusi 2011 (gambar : google) |
Oleh Nasrul Azwar*
Dunia selalu
diliputi perubahan yang tak dapat dielakkan. Berbagai peristiwa menandai
perubahan itu. Tumbang atau berdirinya suatu imperium kekuasaan, peristiwa
revolusi atau peperangan merupakan salah satu penanda perubahan. Renaisance,
Revolusi Industri, Revolusi Perancis, Perang dunia I & II, hingga Perang
Aceh – Belanda juga merupakan penanda perubahan. Bahkan diutusnya Nabi Muhammad
SAW membawa perubahan (jahiliyah ke islamiyah). Perubahan itu tergantung
bagaimana masyarakat dunia memaknai peristiwa (defining events). Tak terkecuali
di Mesir dengan berbagai peristiwanya yang terus menjadi perbincangan dunia.
Mesir, sejak tahun
1953 adalah sebuah Negara modern dengan sistem pemerintahan semi presidensial,
dimana ada presiden dan perdana mentri yang keduanya memiliki kekuasaan
eksekutif Negara. Hal ini berbeda dengan pesidensil murni ataupun monarki
konstitusional yang kekuasaan eksekutifnya hanya dimiliki oleh presiden (sistem
pemerintahan presidensil) atau perdana mentri saja (monarki konstitusional).
Dalam sejarahnya, presiden sebagai pemegang kekuasaan eksekutif di mesir lebih
dominan dibanding perdana mentri yang sama sama memiliki kekuasaan eksekutif.
Ini menjadi hal yang wajar jika kita melihat sejarah Mesir yang semenjak
Merdeka melalui sebuah revolusi fisik pada 18 Juni 1953 terus berada dibawah
rezim militer. Mulai dari masanya Muhammad naguib, Gamal Abdel Naseer, Anwar
Sadat dan Husni Mubarak sampai akhirnya terjadi revolusi 2011 yang menggulingkan
Presiden Husni Mubarak yang sudah berkuasa 30 tahun lamanya.
Menarik jika
kemudian kita melihat bagaimana Mesir
yang terus berada dibawah rezim militer (diktator?) memaknai peristiwa Arab
Spring yang terjadi hampir di santaero Arab. Bagaimana pengaruhnya dengan budaya
politik Mesir yang puluhan tahun tanpa ‘gejolak’ yang berarti (dari rakyat)
dalam hal menentang penguasa? Bagaimana kondisi sosial masyarakat Mesir dan
kelompok kelompok masyarakat di Mesir pasca Revolusi 2011? Dan bagaimana pula
legitimasi penguasa di Mesir Pasca revolusi 2011?
Berbagai peristiwa
penting menyebabkan terjadinya perubahan di Mesir. Hal ini terjadi karena
adanya pemaknaan terhadap peristiwa tertentu (defining events). Tak hanya Arab
Spring saja, Revolusi fisik 1953, dan pergantian rezim juga telah membawa
perubahan dalam budaya politik di Mesir.
Budaya Politik di Mesir
Budaya politik
adalah pola, tingkah laku atau nilai nilai yang ada dalam masyarakat. Dalam kaitannya
dengan penguasa, hubungan sosial antara masyarakat dan penguasa di mesir modern
sebenarnya adalah hubungan yang horizontal. Walaupun sebenarnya Mesir adalah
bekas sebuah Negara Monarki dengan segala bentuk feodalismenya pada masa lalu.
Namun setelah Revolusi Fisik yang dilakukan oleh militer (kudeta?) pada tahun
1953 terhadap kekuasaan raja Farouq, pola kekuasaan di Mesir tidak lagi
menunjukkan adanya sisa sisa feodalisme. Revolusi fisik tersebut dimotori oleh
militer dengan tokoh tokoh seperti
Muhammad Naguib yang kemudian menjadi presiden Mesir dan Gamal Abdel
Naseer yang kemudian juga menjadi Presiden Mesir setelah berhasil ‘mengkudeta’
Muhammad Naguib.
Dari pola pola
kepemimpinan ini, dan juga setelahnya (Presiden Anwar Sadat, Husni Mubarak, Mohammad
Morsi dan Abdel Fatah El Sisi) juga tidak menunjukkan adalanya sisa sisa
feodalisme, Artinya ada perubahan budaya politik mendasar yang terjadi di Mesir.
Budaya Politik memang adalah sesuatu yang dinamis, ia selalu berubah ubah
sesuai dengan perkembangan keadaan yang ada. Nilai budaya politik atau civic
culture merupakan basis yang membentuk demokrasi (Gabriel Almond dan Sidney
Verba,1999:25). Salah satu faktor yang
mempengaruhi perubahan tersebut adalah difining events yang kurang lebih
kita artikan sebagai ‘pemaknaan terhadap peristiwa’. Dalam kasus Mesir diatas, difining
events yang terjadi adalah refolusi fisik Mesir menjadi sebuah Negara
modern yang non-feodal.
Nah, selanjutnya
membahas mesir dalam konteks kekinian juga terjadi perubahan budaya politik
mendasar. Penyebabnya masih sama, yaitu difining events. Disini, difining
events yang terjadi adalah Arab Spring. Arab Spring sendiri
merupakan suatu gejolak revolusi di Arab yang bermula dari Tunisia yang
kemudian menyebar kenegara Negara timur tengah lainnya seperti Libya, Suriah, Aljazair, tak terkecuali
Mesir. Yang terjadi adalah bagaimana kemudian masyarakat Arab memaknai Arab
Spring di Tunisia ini sebagai suatu
langkah awal bagi perubahan santaero di Arab atau Timur Tengah.
Pengetahuan
masyarakat terhadap proses pengambilan keputusan akan menentukan corak dan arah
suatu keputusan yang akan diambil (RamlanSurbakti 1992:196). Pra Arab Spring
di Mesir (Revolusi 2011) masyarakat Mesir tidak terlalu mempersoalkan isu isu
mengenai kebebasan. Keamanan menjadi hal yang utama. Pengetahuan terhadap
proses pengambilan keputusan begitu minim. Ini memang hal yang umum terjadi di Negara
Negara yang didipimpin oleh rezim militer (diktator?). Kita contohkan saja
Indonesia dimasa Orde Baru yang mana kebebasan juga ‘ditekan’ oleh pemerintah.
Namun Pasca Arab Spring di Mesir (Revolusi 2011) masyarakat Mesir mulai
menyadari arti kebebasan terutama terkait hak menyuarakan pendapat tentang
pemimpin. Ini bisa kita lihat bagaimana Mohammad Morsi sebagai presiden
terpilih hasil pemilu pertama pasca Revolusi 2011 yang beberapa kebijakannya
mendapat tanggapan atau reaksi beragam dari masyarakat luas.
Kita bisa
mengkategorikan sikap masyarakat saat itu dengan dua kategori, yaitu yang pro
Pemerintah dan yang anti pemerintah. Tingkat kesadaran politik diartikan
sebagai tanda bahwa warga masyarakat menaruh perhatian terhadap masalah
kenegaraan dan atau pembangunan (Budiarjo, 1985:22). Terlepas dari kisruh apa
yang sebenarnya terjadi namun hal ini menunjukkan bagaimana imbas dari Arab
Spring sebagai defining events yang membawa dampak perubahan dalam nilai
nilai budaya politik masyarakat Mesir.
Kebebasan yang
mulai disadari masyarakat mesir (melalui demo anti pemerintah) ini juga yang
menjadi justifikasi tindakan militer mengkudeta presiden hasil pemilu pasca
revolusi, Banyak pihak yang menyesalkan kudeta ini, tapi poin yang ingin kita
ketahui adalah bagaimana masyarakat mesir sedikitnya mulai mementingkan
kebebasan. Hal pertama setelah kudeta yang kita lihat adalah pelaksanaan pemilu
oleh militer. Ini bisa kita lihat sebagai langkah yang diambil militer untuk
tetap mendapat kepercayaan dari masyarakat Mesir yang sudah mulai menganggap
penting isu isu kebebasan (pasca Arab Spring) dan nilai nilai demokrasi.
Budaya Kolektif
Satu diantara
banyak hal positif terkait budaya politik masyarakat timur (islam?) adalah
budaya politik yang kolektif. Di banyak Negara Negara yang maju, barat
utamanya, masyarakatnya umumnya hidup dengan budaya politik individual yang
tinggi. Artinya masyarakat lebih mengutamakan kepentingan individu daripada
kepentingan kolektif. Ini terjadi di Negara maju seperti Amerika Serikat
ataupun Negara Negara Eropa (barat). Namun
fenomena sebaliknya kita dapati di negara negara Timur semisal jepang
yang masyarakatnya hidup denga budaya politik kolektif. Artinya masyarakat
lebih mengutamakan kepentingan kolektif daripada kepentingan individu.
Mesir adalah salah
satu Negara dengan budaya politik yang kolektif. Hal ini terlihat dengan adanya
posko posko kepedulian sosial. Walaupun pemerintah terlihat abai akan kegiatan
kepedulian sosial, namun ini pula yang menampakkan bagaimana tingginya nilai
budaya kolektif masyarakat mesir. Dimana bantuan kepedulian sosial itu tetap
ada dan dilakukan oleh kelompok kelompok sosial yang ada, semisal Ikhwanul
Muslimin (sebelum revolusi 2011).
Dan kalau
sebelumnya kita membahas budaya politik dan kemudian perubahannya, maka kali
ini kita belum menemukan suatu peristiwa yang menandai perubahan budaya politik
kolektifisme ini (atau perubahannya lambat?). Walaupun telah dijelaskan bahwa
budaya politik adalah hal yang dinamis. Namun perubahan terhadap kolektifitas
(kebersamaan/group oriented) sukar terjadi. Hal ini agaknya karena mengakarnya
budaya ketimuran (berbeda dengan barat) atau juga dikarenakan semangat
keislaman (Ukhuwah Al Islamiyah) yang memang mengajarkan akan kepedulian
sosial. Misalnya saja Kunjungan Morsi pasca ke Aceh ada 2005 dan bantuannya
sebagai suatu tindakan sosial atas Aceh yang baru ditimpa Tsunami. Belum lagi,
cerita mahasiswa Al-Azhar non Mesir dari Aceh yang mendapat makanan/roti
(sedekah) dari penduduk mesir, cukup membuktikan pentingnya kolektif daripada
kepentingan individu bagi masyarakat Mesir.
Perubahan dan Kemajuan
Perubahan
perubahan budaya politik yang terjadi di Mesir umumnya dikarenakan oleh suatu defining
events. Perubahan itu seperti hubungan masyarakat secara vertical (masa
feodalisme) yang kemudian berubah setelah revolusi 1953 menjadi masyarakat
horizontal (modern). Juga perubahan yang terjadi setelah Arab Spring, yang
mana terjadi perubahan pandangan masyarakat terhadap kebebasan dan legitimasi
terhadap pemimpin. Akhirnya, Budaya politik memanglah suatu hal yang dinamis
dan terus bergerak mengikut perkembangan dan Mesir tak luput dari perubahan
itu. Kita tentu berharap bahwa perubahan itu mengarah ke hal hal yang lebih
positif dari sebelumnya. Sehingga Perubahan bisa mendatangkan suatu kemajuan,
bukan malah sebaliknya.
*Nasrul Azwar, Mahasiswa
Ilmu Politik, FISIP, Unsyiah
Referensi
Subakti,Ramlan.1992, Memahami
Ilmu Politik, Jakarta, Gramedia Widiasarana Indonesia.
Budiardjo, Miriam, 1985, Dasar-Dasar
Ilmu Politik, Jakarta, Gramedia Pustaka Utama
Almond, Gabriel,A dan Sidney Verba, 1999. Budaya Politik, Jakarta. Bumi Aksara
http://id.wikipedia.org/wiki/Mesir
0 Komentar