Oleh Munawwar
Pilkada adalah cuplikan ketatanegaraan yang sudah demokratis, tanpa pilkada tentunya hal ini menunjukan ketidak demokratisan ketatanegaraan. Negara yang menganut konsep demokrasi sebagai falsafah negaranya maka tentunya pilkada adalah hal yang sangat dinantikan oleh semua rakyat negara tersebut. Pilkada juga tergolong sebagai sebuah solusi perubahan, karena disaat dilaksanakan Pilkada maka sudah barang tentu besar harapan rakyat untuk suatu perubahan.
Pilkada adalah cuplikan ketatanegaraan yang sudah demokratis, tanpa pilkada tentunya hal ini menunjukan ketidak demokratisan ketatanegaraan. Negara yang menganut konsep demokrasi sebagai falsafah negaranya maka tentunya pilkada adalah hal yang sangat dinantikan oleh semua rakyat negara tersebut. Pilkada juga tergolong sebagai sebuah solusi perubahan, karena disaat dilaksanakan Pilkada maka sudah barang tentu besar harapan rakyat untuk suatu perubahan.
Di negara yang sudah
lama menerapkan konsep demokrasi. Maka pilkada memiliki makna sebagai pesta
rakyat, semua rakyat memiliki andil untuk melaksanakan perubahan dengan
mengunakan hak pilihnya, akan tetapi sebaliknya di negara yang menganut konsep
kerajaan atau dengan kata lain monarchi maka tidak ada istilah pada negara
tersebut, rakyat tidak memiliki hak untuk menentukan perubahan.
Berbicara daerah Aceh
tentunya hal yang sangat familiar dengan kita adalah daerah yang rawan konflik,
hal itu memang benar adanya bila kita mengacu sedikit ke sejarah dahulu,
izinkan penulis sedikit menceritakan awal mula konflik di Aceh, di saat
kedatangan Belanda ke Aceh melalui pelabuhan Ule Lheu merupakan awal kisah
pergolokan yang terjadi di Aceh, dimana peristiwa inilah yang mengawali
retentan perjuangan rakyat Aceh untuk mengusir Belanda, hal ini juga yang
mengubah karakter masyarakat Aceh yang sebelumnya sangat ramah dengan tamu,
menjadi sangat selektif dengan tamu yang datang ke Aceh, setelah perang Aceh
dengan Belanda usai, 1945 Negara Indonesia mengumumkan kemerdekaannya sebagai
sebuah negara yang berdaulat dan Aceh termasuk bagian dari negara Indonesia.
Pada tanggal 21 september 1953 Daud Beureuh mengumunkan Aceh memisahkan diri
dari Indonesia, dan bergabung dengan negara Islam Indonesia yang dicetuskan
oleh kartosoewirjo.
Hal ini yang mengawali
retentan gerakan Daud bereueh didalam berperang dengan tentara Negara Indonesia
(TNI), hal ini juga yang membuat Aceh kembali digiring kedalam panggung konflik
walaupun sebenarnya konflik ini sampai pada klimasnya disaat dilaksanakan ikrar
lamteh. Pada tahun 1976 ,Tgk Hasan Muhammad di tiro mendeklarasikan Gerakan
Aceh Mardeka (GAM), yang mana gerakan ini kembali membawa masyarakat Aceh
berada dalam kancah konflik.
Perekonomian Aceh
berada dalam situasi yang sangat sulit pada saat itu, akan tetapi Aceh sekarang
jauh berbeda dengan yang dulu. Kendati demikian namun tetap saja ada
kekhwatiran yang menyelimuti Aceh
bayang-bayang konflik tetap saja masih ada dan juga tindak kekerasaan. Sebagai
salah contoh yang masing familiar dengan ingatan kita adalah seperti yang
dialami oleh Muhammad Azmumi alias Bodrex, caleg DPRA dari PA (partai Aceh)
yang mobilnya musnah dibakar oleh orang tidak dikenal (OTK) (serambi,
20/1/2014), belum lagi aksi pengeroyokan dan penculikan yang dialami Ramli dan
Jufradi, keduannya merupakan kader PNA (Asmaul husna, berpolitiklah secara
sehat dan santun, Rubrik Opini, serambi Indonesia, 25/1/2014).
Dari uraian di atas
adalah sedikit contoh yang masih membekas dalam ingatan kita semua, bahkan
banyak sekali lahir pertanyaan dari masyarakat, akankah pemilukada ini akan
berakhir secara damai ataukah akan menimbulkan potensi konflik yang baru.
Tentunya pertanyaan itu bukanlah sesuatu yang tidak mendasar,namun merupakan
hal yang sesuai dengan realita, maka dari itu keresahan dan kegelisahan adalah
sesuatu yang wajar.
Lantas Apa yang harus dilakukan agar proses demokrasi Di Aceh
berjalan dengan damai
Menurut hemat penulis
ada beberapa hal yang harus dilakukan oleh penyelenggaran pemilu dalam hal ini
Komisi Pemilihan Independen (KIP), berserta jajarannya dan juga BAWASLU beserta
jajarannya, yang pertama, Penyelenggaran pemilu harus bersikap tegas
apabila ada peserta pemilu yang kedapatan melakukan pelanggaran(Kecurangan),
dan juga telah melanggar ketentuan yang telah ditetapkan oleh KIP Aceh maka
harus diberikan sanksi atau tidak dicabut haknya sebagai peserta pada pemilihan
tersebut. karena Menurut hemat penulis hal ini sangat pelu diambil oleh
penyelenggaran pemilu agar tidak terkesan pilih kasih, jujur saja apabila hal
itu dibiarkan maka tentunya akan melahirkan potensi konflik lagi, yang mana
peserta pemilu lain akan mengarahkan masanya untuk memprotes hal ini, sehingga
akan terjadi konflik antara pendukung si A dan pendukung Si B.
Yang Kedua, Penyelenggaran pemilu harus bersikap profesional, profesional
disini memiliki makna bahwa penyelenggaran harus ahli atau mengusai tata kerja
institusinya dengan baik. Sebagai salah contoh, misalnya si Andi berkerja di
KIP Aceh, ia diberi amanah oleh institusi untuk berkerja dilapangan di dalam
mengecek alat peraga yang digunakan oleh peserta pemilih, dikarenakan si andi
ini tidak mengetahui dan memahami seluruh aturan penggunaan alat peraga maka si
andi tidak mengiraukan pelanggaran yang dialakukan oleh peserta pemilu. Maka
hal ini sangat mungkin menimbulkan percikan konflik. Menurut hemat penulis yang
kedua ini sangat subtansial di dalam melahirkan konflik.
Yang Ketiga, penyelenggaran
pemilu harus memiliki intergritas yang tinggi, integritas disini memiliki makna
bahwa penyelenggaran pemilu harus memiliki kharisma yang tinggi sehingga
membuat peserta pemilu segan dan mematuhi seluruh aturan yang telah dibuat oleh
penyelenggara pemilu. Intergritas ini juga memiliki makna bahwa penyelenggara
pemilu mencintai pekerjaannya dan juga mematuhi seluruh kode etik yang di
berlakukan kepada penyelenggara pemilu, salah satu contoh misal si A adalah
penyelenggara pemilu dan si B adalah peserta pemilu si B ini mencoba menyogok
penyelenggara pemilu dengan uang yang bernilai sekitar 1 triliun. Karena memang
si A ini memiliki intergritas tinggi maka ia menolak pemberian si B . padahal si
B ini memiliki maksud agar si A ini mau membantunya untuk memanipulasi suara.
Menurut hemat penulis praktek ini kerap terjadi di pada masa soeharto. Dan
praktek ini memiliki daya untuk melahirkan konflik besar di Aceh.
Oleh karenanya menurut
hemat penulis minimal penyelenggara pemilu harus memiliki ketiga point diatas agar
potensi konflik bisa diminimalisir, karena kejujuran dalam pemilu bisa
menghasilkan sosok pemenang pemilu yang berkualitas dan memilika kapasitas yang
mampan, bukan sebaliknnya apabila pemenang pemilu adalah sosok yang tidak
berkualitas mana tentunya bisa diprekdiksikan potensi konflik di Aceh akan
semakin besar. Akan lahir kelompok-kelompok bersejata yang menuntut untuk
dilakukan perubahan. Harapan ini semua untuk Aceh ialah bisa terwujudnya
kesajteraan dan kemakmuran dan Aceh harus bebas dari konflik baik itu konflik
kecil maupun konflik yang memiliki dampak yang besar. Dan salah satunya ialah
dengan dihasilkan pemilu yang berkualitas. Semoga aceh ke depan lebih baik
lagi. Aamin.
0 Komentar