Foto by google |
Oleh Munawwar
Melihat
Aceh tentunya kita disungguhi pelaksanaan Syariat Islam yang Kaffah. Pada
dasarnya setiap pemberontakan atau gerakan yang lahir di Aceh indetik dengan keinginan mewujudkan pelaksanaan Syariat Islam khususnya di Aceh. Kehadiran DI/TII
di Aceh tak lepas daripada untuk mewujudkan pelaksanaan Syariat Islam, kita
tentunya masih sangat ingat dengan permitaan teungku Daud Bereuh kepada
Soekarno terkait 3 hal, yang pertama Pendidikan,
kedua,agama (kekhususan pelaksanaan
Syariat Islam), ketiga, Adat
Istiadat.
Yang ingin penulis bahas ialah berkaitan tentang agama ini, karena
keputusan dari pada Daud Beureuh untuk ikut dengan konsep yang ingin diwujudkan
oleh kartosuwirjo adalah karena ingin mewujudkan syariat Islam di Aceh, namun
bila kita cermati bahwa hal ini tidak serta merta bisa terlaksana dengan baik,
dimana gerakan ini, yang di Aceh dikomadoi oleh Daud Bereuh tidak seratus
persen bisa terwujud, dan akhirnya Daud Bereuh sepakat untuk turun gunung
(istilah untuk menyerah) bersama pengikut setianya untuk melaksanakan
perjanjian yang selanjutnya kita kenal dengan istilah Ikrar Lamteh.
Pada kenyataan setelah Daud Berueh turun
gunung untuk melakukan perjanjiann damai tidak serta merta menghacurkan bibit
yang telah di bentuk semasa Daud Bereuh memimpin dahulu, hal ini terbukti pada
tahun 1976 di bukit halimon dideklarikan suatu gerakan oleh Tgk Hasan tiro yang
selanjutnya kita kenal dengan sebutan Gerakan Aceh Merdeka (GAM). Yang intinya
dari gerakan ini adalah untuk melanjutkan perjuangan yang telah dilakukan oleh
Tgk Daud bereuh atau sambungan dari DII/TII. Oleh karenanya ada beberapa hal
yang menjadi fokus dari Tgk Hasan Tiro, pertama,
untuk menghapuskan dominasi pulau Jawa di dalam potret Negara kesatuan Republik
Indonesia. Kedua, ingin mendirikan Negara
sendiri agar masyarakat Aceh bisa fokus di dalam melaksanakan penerapan Syariat
Islam yang Kaffah. Beliau juga melihat apabila Aceh masih berada di dalam
bagian Negara Kesatuan Republik Indonesia maka sangat sulit untuk bisa
melaksanakan hal tersebut.
Di tambah lagi Indonesia bukanlah Negara
Islam dan juga memiliki kemajemukan penduduk, ketiga, tindakan yang dilakukan oleh pihak militer khusus TNI di
daerah Leupeng Aceh Besar merupakan tindakan pembuhan massal serta merupakan
bentuk genosida.
Dengan demikian lahirnya kedua gerakan
perjuangan ini tidak lepas dari ingin mewujudkan pelaksanaan syariat Islam di
tambah lagi, bila kita melihat sejarah Aceh maka tentunya kita disungguhi oleh
aksi yang heroik oleh masyarakat Aceh untuk berjihad fisabilillah dan juga
sangat regilius. Oleh karenanya kedua tokoh ini sangat bercita-cita untuk
mewujudkan kembali Aceh seperti sedia kala.
Lantas bagaimanakah
pelaksanaan Syariat islam Aceh sekarang ini
Naik-turun merupakan kata yang pantas disematkan
untuk mengambarkan pelaksanaan Syariat Islam Di Aceh, hal ini bisa kita lihat
dalam pelaksanaan syariat Islam di Aceh khususnya Banda Aceh, dimana
pelakanaannya kadang kala mengalami peningkatan atau dengan kata lain
pelaksanaannya belum begitu konsisten di terapkan bahkan apabila hal ini
konsisten bisa setiap hari itu pihak WH dibantu Satpo PP melakukan razia baik
itu berkaitan perilaku pemuda-pemudi maupun cara berpakainnya, bila berkaitan
dengan cara berpakainnya Allah telah berfirman di dalam surat Al-Ahzab, ayat
59, “Wahai Nabi! Katakanlah kepada
istri-istrimu, anak-anak perempuanmu, dan istri-istri orang mukmin, Hendaklah
mereka menutup jilbabnya ke seluruh tubuh mereka. Yang demikian itu agar mereka
lebih mudah untuk dikenali sehingga mereka tidak diganggu. Dan Allah Maha
Pengampun, Maha penyanyang. Jilbab disini memiliki makna sejenis baju
kurung yang lapang yang dapat menutup kepala, wajah, dan dada.
Menakutkan sekali ketika kita mendapati
data pelanggaran yang terjadi di banda Aceh, untuk pelanggaran busana muslimah
berjumlah 982 kasus dan untuk pelangaran khalwat berjumlah 313 kasus.(Harian
Pelita 2016/2/29). Itu baru di banda Aceh belum lagi ketika kita lihat di
kabupaten lain.
Melihat realita ini tentunya membuat
siapapun akan merasa gundah terkait pelaksanaannya, dari hari ke hari makin
memprihatikan hal ini sangat jelas apabila kita melintasi akan beberapa tempat
rekreasi maka kita disungguhi kecacatan dari pada pelaksanaan syariat Islam
ini, bahkan yang menurut penulis begitu anehnya ialah pengelola tempat rekreasi
ini seperti membiarkan praktek pelanggaran syariat Islam ini, ada beberapa pelanggaran yang terjadi disini Yang pertama, segi pakaian pemuda dan
pemudi yang tidak sesuai dengan syariat Islam tapi dalam hal yang banyak
melanggar adalah pemudi yang berpakaian ketat sehingga menampak aurat dari
pemudi itu sendiri. Yang kedua, segi
pergaulan pemuda dan pemudi, yang sangat memperlihat seakan-akan pemuda dan
pemudi disini adalah suami istri yang sah akan tetapai kenyataan tidak begitu
mereka bukanlah suami-istri yang sah. Tentunya ini menunjukkan begitu lemahnya niat
kita bersama untuk mewujudkan pelaksanaan syariat Islam di Aceh, namun apabila
kita lihat kenyataan ini maka sangat jauh dari cita-cita kita bersama.
Penulis begitu terpukul disaat melihat
kenyataan yang terjadi seperti yang
telah penulis paparkan diatas, dimana sebenarnya tempat rekreasi ini tunduk
kepada Dinas kebudayaan dan pariswata, dalam hal ini pemko Banda Aceh, yang
mana dinas ini tentunya bisa menyoroti akan pelaksanaan ini dan menegur akan
pihak yang tidak patuh untuk mewujudkan pelaksanaan syariat Islam yang kaffah
di Aceh. dalam hal ini Pemko Banda Aceh bahkan menurut hemat penulis dinas ini
bisa menarik izin tempat rekreasi kepada tersebut.
Lantas apakah solusinya
Mewujudkan
pelaksanaan syariat Islam di Aceh adalah tugas bersama seluruh elemen
masyarakat yang ada di Aceh, karena ini bukanlah tugas yang ringan akan tetapi
ini adalah tugas yang begitu berat untuk dilaksanakan. Perlu kiranya kita
melakukan beberapa cara, pertama,
konsisten seluruh pihak, yang pertama ini sangat lah penting untuk mewujudkan
pelaksanaan syariat Islam di Aceh, karena ketika seluruh pihak sudah konsisten
maka Aceh yang bersyariat Islam hanya menunggu waktu saja, dimana kendala yang
kerap terjadi di dalam pelaksanaan syariat Islam adalah tidak konsistennya
seluruh pihak untuk mewujudkannya, yang mana ada pihak tertentu yang
terindikasi tidak setuju melihat Aceh yang bersyariat Islam, akan tetapi ketika
seluruh pihak bersatu maka hal tersebut tidak membuat begitu banyak pengaruh.
Kedua,
Menumbuhkan perasaan bersalah, yang dimaksud menumbuhkan perasaan bersalah
disini ialah bahwa setiap masyarakat baik itu yang muda maupun tua harus
memiliki kesadaran bahwa disaat mereka melanggar pelaksaan syariat Islam maka
harus memiliki perasaan bersalah sehingga dengan perasaan bersalah ini maka
keesokannya ia tidak akan melanggar pelaksanaan syariat Islam, menurut kaca
mata penulisa kebanyakan masyarakat Aceh baik itu muda maupun yang Tua dalam
hal ini perempuan disaat mereka melanggar pelaksanaan syariat Islam malah ada
kebangaan di hati mereka akibat melakukan pelanggaran ini sehingga sangat sulit
untuk mewujudkan pelaksanaan syariat Islam apabila hal itu yang ada dibenak
masyarakat baik itu, yang muda maupun yang tua.
Ketiga,
Peran orang tua harus dominan di dalam mengontrol anaknya, Untuk yang ketiga
ini, merupakan hal yang begitu penting yang mana bila orang tua berhasil
menjalankan hal ini maka ini merupakan suatu hal yang memutuskan mata rantai
dari pelanggaran syariat Islam, disadari maupun tidak disadari bahwa yang
paling banyak melanggar pelaksanaan syariat Islam adalah kaum muda, yang mana
mereka belum memahami secara menyeluruh, mana hal yang di larang dan mana hal
yang dibolehkan. Sehingga acap kali ini membuat kaum muda melakukan pelanggaran
syariat Islam. Di tambah lagi mereka sedang mencari jati dari yang tidak jarang
membuat mereka terjerumus kedalam hal yang negatif. Dengan demikian sangatlah
penting peran orang tua untuk mengendalikan anaknya agar tidak terjerumus ke
dalam hal yang negatif. Sehingga kaum muda yang sebelumnya indetik dengan yang
melanggar maka dengan dominannya peran orang tua maka hal ini bisa diatasi.
Keempat,
peran pemerintah yang harus dominan. Tidak ada satu orang pun yang bisa
memungkiri bahwa aturan yang ketat bisa mengurangi pelanggaran yang dilakukan,
maka dari itu menurut hemat penulis perlunya campur tangan dari pemerintah
untuk mewujudkan pelaksanaan syariat Islam yang kaffah, yang mana pemerintah
dalam hal ini ialah gubernur dan DPRA mereka harus membuat suatu aturan yang
ketat kepada pelanggarnya dan juga harus memberikan hukuman yang ketat kepada
pihak yang tidak senang akan pelaksanaan syariat Islam yang kaffah di Aceh.
Salah satu yang harus menjadi proritas pemerintah ialah menciptakan suatu
lingkungan yang sehat untuk pelaksanaan syariat Islam, yang mana apabila
sesorang melihat seluruh lingkungannya tidak ada sedikit celahpun untuk
melanggar maka secara perlahan-lahan membuat yang tadinya ingin melanggar
menjadi tidak melanggar dan cepat laun membuat ia menjadi sesorang yang cinta
akan pelaksanaan syariat Islam.
Penulis analogikan bila pada suatu kampung
itu, seluruh masyarakatnya taat beribadah dan tidak ada satupun yang tidak
beribadah, tiba-tiba pindahlah seorang preman ke kampong tersebut dan apa yang
terjadi preman yang tadinya mabuk dan melakukan kemaksiatan berubah 100 persen
dari perbuatan sebelumnya dan sekarang ini pereman ini menjadi seorang yang
taat yang sebelumnya memang dikenal oleh kampung lain terhadap kampung
tersebut. Akhir dari cerita ini ialah lingkungan yang steril sangat lah mendukung untuk mewujudkan pelaksanaan syariat
Islam yang Kaffah di Aceh. Semoga hal ini
segera terujud di Aceh. Aamin.
0 Komentar